Suara kapten terdengar lembut dari pengeras suara di kabin penumpang. Tak jelas apa yang diucapkannya, terdengar seperti orang yang sedang berkumur. Namun saya dapat menangkap maksudnya. Pesawat akan segera mendarat. Lampu ruang kabin pun menyala hangat. Para pramugari mulai sibuk mondar-mandir melewati gang di antara kursi penumpang, ramah dan tampak serius untuk memastikan penumpang memasang sabuk pengaman dan membenarkan sandaran kursi.
Saya melihat ke luar jendela. Seberkas cahaya terang mulai menembus awan-awan tebal. Cahaya itu perlahan-lahan mulai membunuh gelap. Mulai mencerahkan langit. Bukit-bukit mulai terlihat samar-samar bercampur kabut. Laut luas mulai jelas terlihat tepat di bawah pesawat. Indah. Pemandangan indah itu seakan-akan menjadi cara kota Ambon menyambut dan mengucapkan selamat pagi. Sungguh cara yang elegan.
Pesawat menukik tajam namun perlahan. Daratan makin terasa dekat. Tak lama berselang suara decitan halus terdengar, roda pesawat mengecup lembut landasan pacu. Pukul 06.00 Waktu Indonesia Timur saya tiba di bandara internasional Pattimura, Ambon.
Ibu saya berasal dari Maluku, walaupun dia lahir di Jakarta. Otomatis, 50% darah saya adalah darah Maluku. Jadi, sangat menyenangkan bisa menginjakan kaki di Ambon, ibukota Maluku. Rasanya seperti pulang ke rumah.
Telah menunggu di bandara, Amrin, seorang couchsurfer asal Ambon yang telah membuat janji dengan pacar saya, Risty yang juga anggota Couchsurfing. Couchsurfing (CS) adalah sebuah komunitas online yang menghubungkan traveler dari mancanegara. CS punya misi untuk agar setiap anggotanya punya pengalaman yang menginspirasi. Setiap anggota CS punya kesempatan untuk menjadi tuan rumah di negaranya sendiri menjamu traveler yang ingin berkunjung dan begitu juga sebaliknya.
"Mbak Risty ya?" kata pria yang mengenakan jaket timnas sepakbola Inggris warna biru dan kemudian bersalaman dengan Risty. Dia memperkenalkan diri sebagai Amrin, kemudian saya menjabat tangannya dan memperkenalkan diri.
Tanpa banyak basa basi, Amrin mengantar kami keluar dari bandara. "Kita harus segera berangkat, Kapal ke Masohi berangkat pukul sembilan. Kalau enggak berangkat sekarang takutnya nanti enggak bisa ke Ora". Ujarnya sambil berjalan sedikit terburu-buru karena waktu itu sudah menunjukan hampir pukul tujuh pagi.
Saya dan Risty bertujuan ke Ora Beach Resort, sebuah tempat penginapan yang terletak di Pantai Ora, Pulau Seram. Untuk sampai ke sana, langkah pertama yang ditempuh adalah menuju pelabuhan Tulehu. Menurut Amrin, kapal dari Tulehu berangkat sekitar pukul 9 atau 10 pagi menuju Masohi.
Amrin membawa kami naik angkot. Ya, di Ambon, di depan bandaranya banyak angkot, sehingga kami tidak perlu naik taksi. Di Ambon, taksi bukan seperti taksi umum di Jakarta, namun lebih seperti mobil carteran dan harganya lumayan mahal. Ada juga Damri, tapi menurut Amrin bus pemerintah itu tidak pasti datangnya. Bisa sangat lama menunggunya, seperti menunggu jodoh. Jadi, angkutan kota (angkot) adalah pilihan terbaik untuk budget traveler seperti saya.
Di dalam angkot, kami berbincang-bincang dengan Amrin. Saling bertukar cerita dan pengalaman. Amrin ramah dan bukan tipe pendiam. Dia suka berbicara. Wajahnya lebih mirip orang Jawa jika dibandingkan dengan orang Ambon pada umumnya. Kulit sawo matang. Potongan rambut dan badannya sekilas mirp anggota ABRI.
Amrin ternyata lama tinggal di Malang. Sekitar 10 tahun, namun dia terlihat masih sangat menguasai Ambon. Dia tahu dengan pasti kemana akan membawa kami. Dia banyak bercerita tentang pengalamannya menjadi host untuk turis-turis yang pernah berkunjung ke Ambon. "Bule tuh macem-macem tingkahnya. Ada yang baik. Super baik. Ada juga yang pelit. Ada juga yang banyak maunya dan tingkahnya aneh. Sekarang, saya lagi malas jadi host untuk bule." Amrin bercerita. Sepanjang perjalanan dia terus bercerita. Itu hal yang bagus, sehingga suasana mencair dan tidak kaku. Tidak membosankan.
Sambil berbincang, saya sesekali mengamati pemandangan sekitar. Jalanan hanya dua jalur, pas untuk dua mobil. Disampingnya banyak tanah kosong yang hanya dihuni oleh tumbuhan hijau serta rumah sederhana. Sesekali terlihat juga lautan yang mengintip malu-malu dari tepian. Tentram. Damai. Suasana pedesaan masih kental terasa. Sangat jauh berbeda dengan perkotaan.
Kami tiba di Passo. Turun di sana dan naik angkot lagi menuju Tulehu. Sekitar 30 menit dari Passo, kami tiba di Tulehu dan segera membeli tiket kapal cepat yang akan membawa ke Masohi. Masih punya banyak waktu, Amrin mengajak kami menuju Desa Wailatu, tak jauh dari pelabuhan Tulehu.
Di Wailatu ternyata ada sebuah tempat yang cukup menarik. Semacam pemadian umum yang dialiri sungai dari pegunungan. Airnya sangat jernih. Bening. Warnanya biru kehijauan diterpa sinar matahari. Tempat ini digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mandi, mencuci baju atau bahkan hanya sekedar berenang dan bermain.
Masyarakat di desa itu terlihat bahagia. Mereka sepertinya hidup tanpa beban. Tanpa tekanan seperti masyarakat perkotaan. Amrin menyarankan agar memberi mereka uang Rp. 10.000,- untuk membelikan ikan sebagai pancingan agar belut-belut yang ada di tempat itu keluar. Dan benar saja, mereka girang dan semangat membelikannya. Dirangsang dengan bau amis ikan segar, belut-belut itu keluar. Badannya lurus, sangat panjang seperti ular. Kira-kira sepanjang lengan orang dewasa. Mungkin ini adalah belut terbesar dan terpanjang yang pernah saya lihat. Belut-belut itu kemudian melingkarkan badannya lalu menggeliat dan melahap ikan-ikan yang diberikan warga.
Menurut Amrin, belut-belut itu tidak boleh dibunuh. Tidak boleh ditangkap. Karena nenek moyang masyarakat setempat konon katanya pernah ditolong oleh belut itu, dan kini belut itu menjadi sahabat masyarakat Desa Wailatu.
|
Suasana Desa Wailatu |
Kami kemudian kembali ke pelabuhan Tulehu. Sarapan di Rumah Makan Padang yang masakannya terasa tidak karuan. Jauh dari nikmat masakan Padang pada umumnya. Malah, kalau boleh saya berpendapat, itu bukan masakan Padang sama sekali. Itu hanya sebuah warung nasi sederhana yang berkedok Rumah Makan Padang.
Amrin harus meninggalkan kami karena ada pekerjaan. Kami kini tanpa pemandu, naik kapal cepat Cantika Express menuju Masohi. Kapal ini cukup nyaman, hanya saja sangat kurang dalam hal tata tertib. Penumpang yang banyak membuat pihak kru kapal kewalahan mengaturnya. Akibatnya nomor tempat duduk yang tertera di lembar karcis tidak ada gunanya. Penumpang duduk semau mereka. Lagi-lagi masalah yang menjengkelkan di Indonesia. Ketertiban.
Beruntung, kami dapat tempat duduk, tepat di depan monitor televisi. Kapal berangkat pukul 10.00 dengan estimasi kedatangan pukul 12.00 di Masohi. Waktunya saya tidur dan berharap ketika bangun kapal sudah tiba sampai tujuan.
Suara irama pop yang mendayu-dayu merusak tidur saya. Suara merdu seorang wanita yang sedang bernyanyi galau akibat putus cinta membangunkan saya. Monitor televisi menyala. Oh tidak, saatnya karaoke! Sungguh bukan waktu yang tepat.
Seandainya saja saya yang memegang remote, sudah pasti saya akan menggantinya dengan film atau musik yang lebih cocok di telinga saya. Sudahlah, nikmati saja. Saya tak kuasa berbuat apa-apa. Tidur tak bisa lagi. Mau tak mau, mata saya memandang layar televisi, menyimak video klip dan nyanyian itu.
Lambat laun, saya mulai bisa menikmati sajian karaoke itu. Bukan lagunya, tapi liriknya yang menggunakan Bahasa Ambon. Perlahan-lahan saya mulai mengerti Bahasa Ambon. Video karaoke itu ternyata bisa menjadi sebuah pelajaran di tengah gangguan.
Pukul 12.00 waktu setempat. Kami tiba di pelabuhan Amahai, Masohi. Sesuai pesan Amrin lewat SMS, kami segera mencari ojek untuk tujuan berikutnya, terminal Masohi. Tak lama kemudian kami tiba di terminal dan menemukan mobil carteran yang akan membawa kami ke Desa Saleman. Kata pemiliknya, kami harus menunggu penumpang lain, selama beberapa waktu, yang berarti entah sampai kapan, hanya Tuhan yang tahu.
Kami duduk. Menunggu waktu berlalu dengan jemu. Tiba-tiba suara merdu mendayu dayu datang bertamu. "Mana se pung hati....Di mana perasaan...Bilang kalau ale jua cinta beta...Katakan sayang..kalau benar benar ale sayang..." Oh tidak, Tuhan tolong saya. Suara-suara vokal Mitha Talahatu mulai menghantui saya. Sial, bahkan namanya penyanyinya saya ingat. Oh tidak, saya benar-benar keracunan lagu-lagu karaoke kapal Cantika Ekspress. Saya sangat butuh pertolongan.
Lebih dari dua jam saya menunggu. Akhirnya mobil itu tiba. Menyelamatkan saya dari bosan dan ketidakberdayaan untuk mendengar suara vokal Mitha dan penyanyi lokal lain yang masih terngiang di kepala, yang mungkin lama-lama bisa membunuh saya. Terima kasih Tuhan.
Bersama dua penumpang lain, saya dan Risty serta sopir berangkat menuju Desa Saleman. Dari Terminal Masohi kami melewati sebuah desa yang kemudian membawa kami melintasi sebuah jalan raya kecil, hanya muat dua mobil. Mobil melaju kencang tanpa hambatan. Angin sepoi sepoi dari kaca jendela lama lama membuat saya tertidur.
Saya kembali terbangun, setelah mendengar suara mesin mobil yang menderu-deru menaiki bukit terjal. Kami telah sampai di daerah bukit yang dipenuhi ratusan jenis pepohonan hijau. Kami sedang membelah bukit melaui jalan-jalan sempit, yang untungnya sudah di aspal. Daerah ini sangat sepi. Jarang sekali terlihat kehidupan, hanya sesekali bertemu dengan orang-orang yang sedang bekerja membangun jalan. Mobil lain pun jarang terlihat. Mobil kami tak punya lawan, melaju sendirian, di tengah hutan.
Lama-lama kelamaan, seiring jalan yang mulai menukik turun, lautan biru luas mulai terlihat. Kami sudah dekat. Desa Saleman sudah ada di depan mata. Akhirnya setelah dua jam lebih perjalanan, kami tiba dan langsung disambut perahu yang langsung menyeberangkan kami ke Pantai Ora, tujuan kami.
Desa Saleman, Pantai Ora dan sekitarnya baru selesai diguyur hujan. Awan mendung. Kabut bergentayangan. Laut tak sejernih yang diidamkan. Tidak seperti yang diharapkan. Namun perjalanan harus dilanjutkan. Sepuluh menit kemudian kami tiba di Ora. Siap menikmati apa yang ada, meski tidak didukung oleh kondisi cuaca yang sedang tidak bersahaja.