1. The Beach
“Suatu hari aku akan pergi
ke sana! Suatu
hari aku akan menikmati pantai itu! Suatu hari aku akan merasakan surga itu.” ujarku sambil bertekad setelah menonton film The Beach yang
dibintangi Leonardo Di Caprio tahun 2000 yang lalu. Di film itu, Leo yang
memerankan tokoh bernama Richard berpetualang di negeri Gajah Putih, Thailand.
Awalnya Richard berpetualang di Bangkok.
Lalu Richard diwariskan sebuah peta misterius oleh seorang pria yang menginap
tepat di sebelah kamar hotelnya. Peta itu ternyata adalah petunjuk arah untuk
sampai ke sebuah pulau rahasia yang konon memiliki sebuah pantai dengan
kualitas pemandangan seindah surga.
Singkat cerita, dengan segala upayanya, Richard berhasil menemukan
pantai itu. Richard berhasil menemukan pantai yang sangat indah dengan
pemandangan spektakuler. Pantai dengan panorama yang bisa membuat mulut
menganga. Keindahan pantai yang digambarkan pada film itu serta serunya
petualangan Richard di sana membuatku berangan-angan ingin merasakan hal yang
sama. Aku ingin pergi ke sana.
Dua belas tahun kemudian, Minggu, 6 Mei 2012 aku tiba di Bandara
International Phuket, Thailand bersama pacarku yang
cantik, Risty. Tujuan utama kami pergi Phuket adalah Maya Bay,
lokasi dimana pantai yang ditampilkan di film The Beach yang letaknya tidak
jauh dari Phuket. Selain itu aku ingin mencari tahu apa sebenarnya yang membuat
Phuket, sebuah provinsi di bagian selatan Thailand itu menjadi populer dan
ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.
Malam itu, kedatangan kami di Phuket disambut oleh hujan lebat. Hujan
sama sekali bukan hal yang diinginkan ketika melakukan perjalanan. Sesuatu yang
tidak diharapkan. Hujan disaat perjalanan wisata adalah bencana yang dapat
menggagalkan sebuah rencana.
Untungnya, pada malam itu hujan tak berlangsung lama. Setelah
menjalani proses pemeriksaan barang, pengecekan imigrasi hingga sampai di pintu
keluar bandara, hujan mereda.
Karena kami adalah pelancong dengan dana minim, maka kami segera
mencari minibus service, semacam jasa
travel shuttle di Jakarta yang
ongkosnya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan taksi. Sayangnya pada malam
itu kami kurang beruntung. Semua minibus service
tidak mau langsung berangkat. Mereka masih menunggu penumpang agar bangku
terisi penuh. Mereka masih menunggu penerbangan dari Bangkok yang baru akan tiba pukul sebelas
malam. Sedangkan pada saat itu waktu baru menunjukan pukul setengah sembilan
malam.
Kami dihadapkan oleh dua opsi. Biaya lebih murah tapi kehilangan
waktu, atau biaya mahal tapi bisa menghemat waktu. Buat kami waktu lebih
berharga dibanding uang. Uang bisa dicari lagi, namun waktu tak akan pernah
kembali. Beda harga sedikit asal masih masuk akal bukan masalah. Kami memilih
opsi yang kedua. Akhirnya kami naik taksi menuju Patong dengan biaya 600 Baht atau
sekitar IDR 180.000.
2. Bangla
Road – Patong.
Patong adalah daerah pantai yang terletak di bagian barat Phuket. Pusat
hiburan. Pusat kehidupan malam. Pusat hura-hura. Pusat segala kemeriahan
berada. Turis-turis dan setiap pelancong yang berkunjung ke Phuket, kebanyakan
bermalam di daerah Patong.
Begitu juga dengan kami. Sebelum menuju Maya Bay,
Patong menjadi tempat kami bermalam. Dengan menggunakan taksi, kami meluncur
menuju Patong. Perjalanan menuju Patong melewati jalan-jalan yang cukup sepi dan
gelap. Suasananya remang-remang. Kurang pencahayaan. Medan jalannya seperti di daerah Puncak, Jawa
Barat. Penuh tanjakan dan turunan yang curam serta berliku.
Kurang lebih satu setengah jam yang kami butuhkan untuk sampai di
Patong dari bandara. Kami langsung menuju tempat penginapan yang kami pesan
sebelumnya. Patong Backpackers Hostel. Sebuah hostel sederhana dengan tarif per
malam yang murah. Hanya sekitar 270 Baht atau Rp 80.000 untuk kamar dorm campuran yang kami pesan.
Sesampainya di hostel, kami langsung segera memesan tiket kapal feri
yang akan membawa kami menuju Phi-Phi
Island beserta minibus service yang akan menjemput dan
mengantarkan kami menuju pelabuhan. Untuk menuju Maya Bay, kami harus ke Phi
Phi Island terlebih dahulu, karena semua akomodasi menuju May Bay terdapat di
sana. Kami memesan jadwal yang paling pagi untuk mengejar kapal menuju Maya Bay
yang tidak setiap saat berangkat. Setelah semua urusan check-in dan pemesanan
tiket feri selesai, kami segera menuju kamar, menaruh tas ransel kami dan
segera keluar dari hostel menuju Bangla
Road, jalan yang populer dengan meriahnya
kehidupan malam.
Bangla Road terletak tak jauh dari hostel tempat kami menginap. Letaknya dekat pantai Patong. Malam itu Bangla Road ramai pengunjung, meskipun terlihat
jalanan masih banyak yang tergenang air pertanda habis diguyur hujan. Kebanyakan
pengunjung di sana
adalah turis bule. Turis-turis itu banyak terlihat memenuhi bar, pub, restoran,
café, dan diskotek yang ada di sepanjang jalan. Atmosfir di sana
mirip dengan yang kurasakan ketika berada di Kuta, Bali.
Suasananya kurang lebih sama, Ramai. Meriah. Pesta dimana-mana. Penuh
hura-hura. Namun kehidupan gemerlap malam di Bangla Road sedikit lebih liar
dibandingkan dengan Kuta.
Selain menyediakan fasilitas yang lengkap untuk berpesta dan
hura-hura, Bangla Road
juga menyediakan banyak wanita penghibur. Di bar-bar atau diskotek yang
teradapat di sepanjang jalan, terlihat banyak wanita yang berpakaian seksi
sedang menari erotis meliuk-liukan badannya di sebuah tiang, berusaha memancing
birahi kaum lelaki. Pemandangan seperti itu hampir dapat ditemukan di sepanjang
jalan.
Di sana
juga banyak para kaum transgender
yang berkeliaran di sepanjang jalan. Mereka cantik-cantik. Nyaris tak ada
bedanya dengan wanita asli. Banyak dari mereka yang berdandan seperti malaikat.
Lengkap dengan aksesoris sayapnya. Banyak juga yang hanya mengenakan bikini
sengaja memamerkan tubuhnya. Badan mereka tinggi semampai. Bodi mereka aduhai.
Seksi. Sekilas mirip model Victoria’s
Secret.
Mereka sanggup membuat turis-turis yang sedang berjalan tiba-tiba
berhenti sejenak hanya untuk mengamati mereka. Tingkah laku dan dandanan mereka
memang cukup punya magnet yang kuat untuk menarik perhatian. Mereka kadang terlihat
usil, menggoda para pengunjung yang melewati mereka agar mau berfoto, tapi dengan
imbalan. Mereka hanya mau difoto jika diberi uang. Mereka yang tadinya ramah akan
berubah menjadi marah jika mereka menangkap basah ada yang mengambil foto
mereka sembunyi-sembunyi.
Kemudian aku dan Risty terus menelusuri Bangla Road hingga ujung jalan. Di
seberang Bangla Road
terlihat banyak restoran. Kebanyakan restoran sea food. Di pinggir
jalan banyak toko-toko kaki lima
yang menjual kaos dan segala jenis pakaian hingga pernak pernik. Ada juga beberapa mal yang
cukup besar dan beberapa mini market.
Di sana juga nampak tuk-tuk, semacam
angkot di Indonesia,
namun jauh lebih modis. Kendaraan itu didandani dengan meriah. Kebanyakan
tuk-tuk di daerah Phuket itu ceper-ceper. Bumpernya tebal-tebal dan panjang
hingga nyaris menyentuh tanah. Bagian tempat duduk penumpang tak ada
jendelanya, atapnya hanya ditutup terpal dan terbuka di sisi kiri dan kanan. Banyak
juga yang dilengkapi dengan sound system
lengkap dengan power dan woofer sehingga suara yang dihasilkan
sangat kencang. Tajam menusuk telinga. Keras menekan jantung. Kebanyakan tuk-tuk itu hanya parkir. Tidak
beroperasi. Namun ada juga yang mondar mandir sepanjang jalan sedang mengangkut
penumpang.
Tak lama kemudian, hujan kembali turun. Tidak deras memang, tapi
sudah cukup untuk membasahi Bangla
Road dan sekitarnya. Bermodalkan payung, kami
berjalan menembus hujan. Kami bergegas kembali ke arah hostel. Kami kemudian berteduh
sebentar di sebuah restoran cepat saji sekaligus makan malam.
Setelah makan malam selesai, hujan pun reda. Sebelum kembali ke
hostel, kami menyempatkan diri bersantai di pantai Patong sekedar untuk merasakan
kulit kami disentuh angin malam, mendengar desiran ombak serta berusaha menerawang
bintang yang tertutup oleh awan mendung.
Kami menikmati pantai itu hingga tengah malam. Kemudian kami kembali
ke hostel. Berkemas. Tidur.
Bangla Road - Patong |
3. Phi-Phi
Island
Baru tidur sekitar tiga jam, kami dibangunkan oleh staf hostel
sekitar pukul tiga dini hari. “Excuse me.
I’m sorry to wake you up. I got a bad news for you. I am very sorry, I forget
to tell you that there is no more minibus service available for first schedule
at 8 am. It’s already full. Is it okay if I change your schedule to 9.00 am or
12 pm? And actually I’m not pretty sure about the 09.00 am schedule. I hope
it’s still available. One thing for sure, for 12 pm schedule it’s available.”
Ujar staf hostel itu menginformasikan sebuah kabar yang kurang baik dengan muka
penuh rasa bersalah.
Mendengar itu, aku dan Risty cukup kecewa. Kalau saja staf itu
memberi tahu kami dari awal ketika memesan tiket bahwa jadwalnya sudah penuh,
kami bisa mencari alternatif lain dengan segera dan memesan di tempat lain.
Rencana kami bisa berantakan gara-gara hal ini. Kami hanya bisa berharap semoga
jadwal berikutnya yang pukul sembilan pagi masih tersedia.
“Please arrange to 9.00 am
schedule, we really don’t have much time. Please try your best to manage that.
I really appreciate it if you can do that.” Aku
menjawab dengan sedikit kesal. “I’ll do
my best, sorry for this inconvenience. I am really sorry.” Jawabnya menyesal
dengan muka melas, sehingga membuatku tak tega untuk memarahinya dan langsung
memaafkannya. Kemudian staf itu keluar, aku melanjutkan tidurku sambil berharap
besok aku akan mendapat kabar gembira.
Pukul enam pagi. Aku terbangun. Kasur di kamar kami yang total ada
enam buah dan tadinya kosong, sudah terisi penuh. Terlihat ada empat bule yang
sedang tertidur lelap. Tak mau mengganggu tidur mereka, aku membangunkan Risty,
kemudian membereskan tas kami pelan-pelan. Berusaha untuk tidak mengeluarkan
suara, seperti maling yang sedang bekerja.
Setelah mandi dan sarapan, aku duduk-duduk di ruang tamu hostel, sambil
menunggu kabar baik dari staf hostel. Ruang tamu itu cukup nyaman. Cukup luas.
Ruang itu berlantaikan kayu, dihiasi oleh televisi flat layar lebar nyaris seukuran layar bioskop lengkap dengan DVD player dan sound system. Ada
juga beberapa komputer yang disewakan per jamnya. Tersedia juga di sana rak buku beserta
buku-bukunya. Di ruang tamu itu juga ada dua buah matras kecil yang cukup
empuk, pas untuk dipakai membaca sambil tiduran.
Aku mulai bosan. Cukup lama aku menanti. Pukul setengah lapan pagi,
kabar baik belum juga menghampiri. Aku kemudian mendatangi meja resepsionis
hostel, berbicara dengan stafnya, menanyakan apakah sudah ada kepastian
mengenai jadwal penjemputan kami. “I’m
afraid there is no confirmation yet, please be patient sir…I’m really sorry.” Jawab
staf hostel itu ramah dan sopan. Staf hostel itu ternyata bukan orang yang sama
yang membangunkan kami. Mereka ternyata telah bertukar jadwal. Sambil menunggu,
aku mengajak dia berbincang.
Di tengah-tengah perbincangan kami, hujan turun cukup deras.“It’s rain everyday here. It’s been a week.
The weather is not good. So where you wanna go?” ujar staf hostel itu
memberi informasi dan bertanya kepadaku. Aku bilang kepadanya, kami mau ke Maya Bay.
Mau bermalam di sana.
“I never heard that. I really don’t know
if you can stay on Maya Bay, and with bad weather like this, I think it’s not
good to go there.” Staf itu tersenyum kecil meragukan rencanaku. Mendengar
hal itu, semangatku sedikit luntur. Cuaca yang tak menentu dan keraguan dari
orang lokal mengenai bisa atau tidaknya bermalam di sana membuatku was-was.
Aku heran. Mereka tidak mengetahui kalau di Maya Bay
diperbolehkan untuk bermalam. Alamat situsnya jelas-jelas ada dan valid, www.mayabaycamping.com. Mereka malah menertawakanku.
Meragukanku. Tapi aku yakin aku bisa bermalam di sana. Yang membuatku yakin selain alamat
website adalah pengalaman Risty yang sudah pernah bermalam di sana tahun 2010 yang lalu. Jadi aku yakin,
tak mungkin tak bisa bermalam di sana.
Yang aku khawatirkan sekarang hanya cuaca. Aku tak bisa membayangkan betapa
tidak menyenangkannya ke pantai ditemani hujan.
Tak lama kemudian, staf hostel itu memencet-memencet telepon
genggamnya, menghubungi seseorang. Dia berbahasa Thailand dengan cepat tanpa
aku mengerti sedikitpun. Staf itu kemudian berbicara kepadaku sambil tersenyum
“Be ready sir, the minibus will pick you
up at 09.00 am.”
Mendengar itu, aku sangat lega. Kami bisa berangkat menuju Phi-Phi
sebelum makan siang. Kami bisa mengejar jadwal kapal menuju Maya Bay
yang menurut pengalaman Risty akan berangkat sekitar pukul tiga sore.
Semangatku mulai tumbuh kembali. Walaupun hujan masih turun rintik-rintik dan
awan terlihat gelap, tapi yang penting kami bisa berangkat ke sana. Hujan memang cukup memusingkan kepala.
Namun apabila kami gagal berangkat ke Phi-Phi hari itu sesuai jadwal, maka hal itu
akan menjadi bencana. Masalah cuaca, aku hanya bisa berharap ketika sampai di sana cuaca akan baik.
Siapa tahu. Yang penting kami sampai di sana
terlebih dahulu.
Pukul sembilan lewat lima
belas menit. Kami akhirnya dijemput. Kami menuju Phuket Rassada
Port, pelabuhan tempat
kapal feri yang akan kami tumpangi berlabuh. Kami sempat singgah sebentar di
sebuah hotel menjemput turis yang lain. Sesudah itu, aku tidak mengingat lagi
perjalanan. Aku memejamkan mataku. Tidur.
Sekitar pukul sebelas siang, kami tiba di Rassada Port.
Pelabuhan tampak tidak terlalu ramai. Ada
beberapa turis, tapi tempat itu tampak sepi. Memang, ternyata bulan Mei
sebenarnya adalah bukan bulan yang bagus untuk berkunjung ke Phuket. High season di Phuket terjadi pada bulan
Juli hingga akhir Januari. Begitu menurut orang-orang yang kuajak bicara di sana. Tapi itu tak masalah
buatku, malah menjadi kabar yang cukup menggembirakan. Aku justru tidak terlalu
suka jika terlalu ramai. Setelah duduk selama kurang lebih dari setengah jam,
akhirnya kapal feri datang, dan kami segera naik ke kapal.
Kami akhirnya berangkat menuju Phi-Phi Island
sekitar pukul setengah dua belas siang. Kecemasan masih ada di benakku, karena
kapal berangkat agak mundur dari jadwal. Aku cemas kami tidak punya cukup waktu
untuk mengejar jadwal kapal ke Maya
Bay. Ditambah awan yang
cukup mendung, aku juga khawatir cuaca masih belum bersahabat. Untungnya kapal
itu cukup nyaman, setiadaknya aku bisa tidur cukup nyenyak menghilangkan rasa
cemas dan khawatirku.
Satu setengah jam kemudian kapal feri yang kami tumpangi tiba di
Tonsai Pier, dermaga tempat berlabuhnya kapal-kapal yang masuk ke Phi-Phi Island. Siang itu cuaca cukup bersahabat
tak seperti yang kami khawatirkan. Matahari bertugas seperti biasanya,
menyinari bumi tanpa gangguan awan hitam dan hujan.
Dari Tonsai Pier, Phi
Phi Island
terlihat dikelilingi oleh air laut yang jernih dan bersih. Warnanya biru muda
di tepi pantai, dan biru kehijauan di tengah laut. Lautnya berkilauan diterpa
cahaya matahari. Lautan di sekitar Phi-Phi juga dimeriahkan oleh padatnya
lalu-lintas perahu dan kapal yang keluar masuk.
Turun dari kapal, kami segera masuk ke pulau itu. Gerbang
bertuliskan “Welcome to Phi-Phi Island”
menyambut kedatangan kami. Phi-Phi
Island saat itu ramai.
Penuh sesak oleh turis bule. Karena waktu sudah menunjukan pukul setengah dua,
kami segera mencari agen perjalanan tempat pendaftaran dan pembayaran peserta Maya Bay Camping.
Kami bergerak cepat menelusuri Phi-Phi Island
yang tidak terlalu besar. Menurut pengalaman Risty, tempat pendaftaran Maya Bay Camping ada di sebuah restoran
bernuansa Jamaika. Tanpa kesulitan berarti, kami menemukan tempat itu.
Seorang pria bule berbadan tinggi besar menyambut kami. Kami
bertanya kepadanya mengenai Maya Bay
Camping. “Ahh you are looking for May Bay
Camping tour. Come follow me.” Ujar bule itu kepada kami sekaligus menyuruh
kami agar mengikutinya. Ternyata bukan di tempat itu tempat mendaftarnya. Dulu
memang iya, tapi sekarang sudah pindah. Bule itu mengantarkan kami sebuah agen
perjalanan yang jadi satu dengan dive
tour yang letaknya tidak jauh dari restoran bernuansa Jamaika itu.
Kami segera mendaftar, dan kami beruntung masih ada tempat tersisa.
Dan kami juga beruntung karena kapal baru akan berangkat pukul setengah empat
sore. Kami belum terlambat. Untuk bermalam di Maya Bay, kami harus membayar
2500 Baht, sekitar IDR 750.000 sudah termasuk sewa kapal, makanan, perlengkapan
snorkeling, dan uang masuk Maya Bay. “It’s
all set, the boat will leave from Tonsai Pier at 15.30. Look for the reggae
boat with yellow, red and green paint. Don’t be late.“ Ujar petugas yang
bekerja di agen perjalanan itu menginformasikan kami.
Selanjutnya kami membongkar isi tas ransel kami, memisahkan, dan mengambil
barang-barang seperlunya yang akan dibawa ke Maya Bay.
Tas ransel kami dititipkan di sana. Disimpan di lantai
atas agen perjalanan itu. Setelah itu, dengan niat untuk sekedar mengecek, kami
langsung menuju Tonsai Pier. Terlihat kapal berwarna kuning, merah dan hijau.
Di bagian samping kapal itu terlihat tulisan www.mayabaycamping.com. Melihat
itu, aku yakin kapal itu yang akan mengantarkan kami menuju Maya Bay.
Kami menyapa seorang kru kapal yang bertugas untuk memastikan. “Excuse me is this the right boat to Maya
Bay Camping?” tanyaku kepadanya sambil menujukan kwitansi pembayaran. “Yes! This is the right boat. Let me take
your receipt, and here two tickets for bucket drinks.” Jawab kru kapal itu
sambil mendaftarkan nama kami dan menukar kwitansi dengan dua buah potongan
tiket kecil untuk dua buah minuman. “We still cleaning our boat, please come
back at three, the boat will leave around three untill three thirty.” Tambahnya
menyuruh kami kembali sekitar pukul tiga sore.
Masih punya waktu sekitar satu jam, kami memutuskan untuk
menjelajahi Phi-Phi
Island lebih lanjut. Phi-Phi Island dipenuhi oleh restoran, tempat
penginapan, agen perjalanan serta banyak mini
market. Jalanannya sempit beralaskan paving blok. Cukup nyaman untuk
berjalan kaki dan bersepeda. Suasananya ramai namun santai seperti suasana di daerah
sekitar pantai pada umumnya.
Cuaca yang cerah mendadak berubah. Awan hitam mulai menutupi wajah
matahari yang tadinya berseri. Hujan rintik-rintik pun mulai turun membasahi
Phi-Phi. Tanpa banyak memilih, kami memasuki sebuah restoran untuk berteduh
sekaligus makan siang.
Setelah selesai menyantap nasi goreng Thailand yang rasanya tak karuan,
hujan berhenti. Lagi-lagi kami beruntung, hujan hanya turun sebentar saja dan
sinar matahari mulai nampak walau belum terlalu cerah. Setelah itu, kami
melanjutkan perjalanan dan menemukan sebuah pantai yang cantik di sana. Tak sulit
menemukannya. Hanya berjalan lurus ke arah selatan dari Tonsai Pier. Pantai itu
bersih. Pasirnya putih. Panjang dan landai. Air lautnya tenang tak berombak, jernih
bewarna biru muda kehijauan. Suasananya damai. Sepi. Hanya ada sedikit
pengunjung dan beberapa perahu yang menepi.
Phi-Phi Island |
4. Maya
Bay
Pukul tiga sore. Kami kembali ke Tonsai Pier. Kami menuju kapal berwarna
kuning, merah dan hijau bernuansa Jamaika yang sebelumnya telah kami hampiri. “Welcome abroad! Please go upstairs”
ujar salah satu kru kapal menyambut kami. Di atas kapal terlihat sekelompok
turis yang sudah duduk manis. Kemudian seorang wanita bule berkacamata coklat
yang rambutnya ditutup topi kupluk dengan senyum ramah menanyakan kwitansi
pembayaran kami. “Hi, I’m Jess, your
guide. May I see your receipt please?” Tanya wanita itu. “We already exchange it with two tickets for
bucket drinks.” Jawabku menjelaskan sambil menunjukan tiket.
“Ohh okay then, it means we
already complete, you are the last passengers. We’re all set and ready to go” Ujar wanita itu dengan aksen British yang cukup kental. Tak lama
kemudian suara bising mesin kapal mulai terdengar. Getaran mesin kapal sudah
terasa. Mesin kapal sudah menyala. Perjalanan menuju surga dimulai.
Tak lama setelah kapal bergerak meninggalkan pelabuhan, dua orang pemandu
yang bertugas di kapal itu naik ke atas. Mereka memperkenalan dirinya.
“Hi! Hello everyone! I’m Jess.
I came from England.
From this afternoon until tomorrow morning I’ll be responsible for this trip. I’ll
be your guide. First we’re going to visit Viking cave and then we will have
short time to swim or snorkeling. After that we’re going to Maya Bay,
our main destinations. We will need about more than hours to arrive at May Bay.
So if you guys need anything or want to ask something, please come to me. I
would be happy to help. Or you can ask my partner Coco.” Begitu Jess memperkenalkan dirinya. Seorang wanita Inggris yang
senyumnya manis. Raut wajahnya gembira. Ceria. Rambutnya pirang, ikal dikepang
dua. Tubuhnya mungil. Kulitnya putih namun sudah mulai terlihat coklat
kemerahan terbakar sinar matahari.
Pemandu satunya lagi bernama Coco.
Seorang pria asli Thailand.
Untuk ukuran orang Asia wajahnya cukup tampan.
Kulitnya sawo matang. Rambutnya hitam pekat, pendek tak disisir. Berkumis dan
berjanggut tipis. Tingginya setinggi rata-rata orang Asia
pada umumnya. Badannya atletis. Perutnya kotak-kotak. Lengannya berotot dan dihiasi
dengan tato tribal. Sekilas
penampakannya mirip atlet tinju kelas bulu.
“Hi evewyone. My name iz Coco. Coco Loco!
Heheheh! Lizzzeen up! Today we will vizzit Maya Bay,
vewwy beautiful plezz. Zo lizzen cawefully! Fiwzzt we awe going to vizzit
Viking cave and then go snowkeling or zwim like Jezz zaid befowe. Aftew that we
will go to Maya bay and ztay ovew thewe. We will zee zunset, aftew that we will
zet a campfiyew, and have zome gamez. After that we will have dinnew, a local
food. I hope you like it! Hehehe! Aftew that you will zleep at the beach ow at
the camp. Thewe is no clean watew thewe. Zo you don’t need to take a zhowew. Zhit!
Hahaha! In the mowning you guyz will zee zunwise and have a fwee time on the
beach. Zo I hope you guyz enjoy youw twip! And becauze you guyz come fwom many
countwiez, please wezspect each othewz. Hehehe! Enjoy youw time! And Zhit!!
Have fun! Hehehe!” Kira-kira seperti itulah Coco berpidato, menjelaskan itinerary perjalanan sambil meperkenalkan diri. Coco
mengoceh dengan Bahasa Inggris seperti orang yang sedang kumur-kumur. Hurus ‘S’
terdengar seperti “Z” dan huruf “R” terdengar seperti huruf “W”. Kurang jelas, namun
masih dapat dicerna. Kadang dia berbicara sambil terkekeh sendiri. Dan dia
sering mengumpat mengucapkan kata “Zhit”
yang membuat kami dan para turis lainnya tertawa geli melihat tingkahnya yang
agak gila. sangat cocok dipanggil Loco.
Kapal melaju kencang. Tak terasa kami sudah hampir setengah jam
menghabiskan waktu perjalanan. Siang itu, cuaca mulai cerah bebas dari gangguan
hujan. Walaupun cuaca bagus, namun ombak tak bersahabat. Ombak membuat kapal bergoncang.
Naik kapal kecil sambil digoyang ombak adalah hal yang tidak mengenakan. Isi perut rasanya seperti diacak-acak. Dikocok-kocok.
Membuatku enek. Mual. Ingin muntah.
Tak lama kemudian, kapal perlahan berhenti. Tak terdengar lagi suara
bising dari mesin kapal. Kami tiba di Viking Cave,
seboah goa yang konon dulu pernah disinggahi oleh bangsa Viking. Goa itu tak terlalu besar. Terlihat ada penduduk yang
mendiami tempat itu. Mereka terlihat sedang membersihkan perabot-perabot rumah
tangga seperti gelas, piring, panci dan sejenisnya. Menurut Coco, Tempat itu
merupakan salah satu penghasil sarang burung walet yang cukup produktif.
Viking Cave |
Kami tak berlama-lama di sana.
Kami segera melanjutkan perjalanan. Pemandangan di sana mirip dengan pemandangan di Ha Long Bay,
Vietnam. Daerah sekitar Viking
Cave itu dihiasi oleh
bukit-bukit kapur yang cukup besar. Lautnya hijau kebiruan. Jernih dan bersih.
Tidak seperti di Ha Long Bay yang sudah mulai terlihat coklat dan kotor.
Berjarak kurang lebih sepuluh menit dari Viking Cave,
kapal kemudian berhenti lagi. “It’s
swimming time! Common let’s go!“ seru Jess penuh semangat. Saatnya
berenang. Saatnya snorkeling. Dengan perut yang masih mual, aku dengan semangat
menyeburkan diri ke laut. Berharap mual akan hilang dan badan akan lebih segar.
Pemandangan bawah laut di sana
ternyata biasa saja. Karang-karangnya kurang bagus. Banyak ikan memang, tapi
kurang beragam. Tak ada yang istimewa. Di saat kami sedang asik snorkeling, Coco tiba-tiba beraksi. Dari atas kapal ia meloncat
sambil salto menyeburkan dirinya ke laut dengan penuh gaya bak atlet loncat indah.
Coco terlihat
mengejar sesuatu. Ubur-ubur berwarna ungu kehitaman. Binatang laut itu diburu Coco. Dengan santai ia mendekati ubur-ubur itu dan
kemudian menangkapnya dengan tangan kosong tanpa bantuan sarung tangan. Lalu ia
memegangnya dan melihatnya dengan seksama. “Oh
zhit!! Hehehe! Thiz one not poizonouz, it’z juzt ordinawy jellyfizh. Thiz look
deliciouz. Hehehe.” Ucapnya terkekeh geli sambil mengangkat ubur-ubur itu,
membuka mulutnya dan seperti ingin memakannya. Kemudian setelah memegangnya
cukup lama, ia menutup mulutnya. Tak jadi memakannya, Coco
melepas ubur-ubur itu.
“Come on up!! Let’s go! We
have to go now!“ teriak Jess dari kapal memanggil
kami untuk segera naik ke kapal. Setelah kurang lebih lima belas menit snorkeling, kami segera naik
ke kapal mematuhi perintah Jess. Lalu kami mengeringkan badan dan beristirahat
sejenak. Tak lama kemudian kapal melaju kembali, melanjutkan perjalanan. Dari sana kami langsung menuju Maya Bay,
Ombak masih belum bersahabat. Ombak masih menggoncang kapal kami
cukup kencang. Badanku yang tadinya mulai terasa segar, kini kembali mual. Di
saat kami terombang-ambing oleh ombak, Jess menghampiri kami dan menyodorkan
sebuah nampan berisi nanas yang dipotong rapi menyerupai kipas.
Tanpa ragu, kucomot buah yang dagingnya berwarna kuning itu dan memakannya.
Wow! Nanas itu luar bisa lezat. Rasa manisnya sanggup membuat mata memejam dan
mulut bergumam saking nikmatnya. Dashyat. Tak pernah aku merasakan nanas seenak
itu. Rasa manisnya menetralkan rasa mual seketika. Asamnya membuat tubuh
menjadi segar. Nanas itu jauh lebih ampuh dari obat mabuk laut merek apapun.
Risty pun merasakan hal yang sama. Badannya terasa lebih segar
katanya. Menurutnya rasanya juga luar biasa enak. Kami pun sepakat, nanas itu
adalah nanas yang paling enak yang pernah kami cicipi.
“Hi everyone please put your
life jacket on” perintah Jess kepada kami dan pada
saat yang bersamaan kapal berhenti melaju. “Listen
up! We already arrive at Maya
Bay. Because of low tide,
we can’t enter from the front. We have to swim and enter Maya Bay
from behind.” Tambah Jess menginformasikan, kami sudah sampai di Maya Bay.
Karena air surut, maka kapal tidak bisa masuk dari depan.
Karang-karang yang tajam menjadi penghalang. Maka jalan satu-satunya adalah
masuk lewat belakang dan hanya bisa dilakukan dengan satu cara, berenang.
Tak masalah buatku. Malah aku jadi lebih bersemangat. Petualangan
jadi lebih mengasyikan. Seru. Seperti Richard di film The Beach yang juga harus
berenang dan masuk lewat belakang.
Jess kemudian menyuruh kami mengumpulkan tas dan barang-barang
bawaan agar dikumpulkan dan dititipkan kepadanya. Tas-tas itu nantinya akan
dibawa oleh kru mereka naik perahu kecil.
Setelah semuanya beres, aku segera mengenakan jaket pelampung,
mengencangkan ikatannya dan segera menceburkan diri ke laut. Aku harus berenang
kira-kira dua ratus meter dari kapal menuju tepian. “Be caweful with the cowal!” Seru Coco dari kejauhan. Karang memang
banyak tedapat disana. Seperti ranjau di medan
perang. Tidak jelas terlihat. Tersembunyi namun banyak jumlahnya.
Ketika sudah mendekati tepian, tiba-tiba telapak kaki kananku
menghentak karang tanpa disengaja. Keduanya beradu. Karang itu setajam pisau.
Berhasil merobek kulit dan membebaskan darahku keluar. Seketika perih mulai
terasa.
Dengan sedikit meringis, aku mulai berjalan ke tepian. Perih masih
terasa. “Awe you okay man?” Coco nampak cemas.
“I’m fine, just a little cut…I’m
okay.” Jawabku tenang. “Let me zee
youw foot” tambah Coco. Kemudian dia
melihat kakiku dan bereaksi. Dengan ekspresi yang cukup serius dia berkata “Zhit man! Zhit! You awe bleeding!” Mendengar
ekspresi Coco yang serius, aku jadi sedikit
cemas. Jangan-jangan lukanya parah.
Melihat wajahku yang mulai mengeluarkan ekspresi kekhawatiran, Coco malah terkekeh geli. “Don’t wowwy man! It’s okay! Hehehe! Nothing zewius with that. Just a
minow cut. Juzt ztep in to the zands, and it will cuwe you. Welax! Hehehe!” Coco menepuk pundakku.
Setelah menanti selama dua belas tahun aku akhirnya tiba di Maya Bay.
Dari pintu belakang, aku mulai menelusuri salah satu taman nasional yang
dilindungi oleh pemerintah Thailand
itu.
Tak ada air terjun dan tak ada ladang ganja seperti yang dilihat
pada film The Beach. Yang ada hanya jalan setapak beralaskan pasir putih, pohon-pohon
berdaun hijau, dan rumah petugas penjaga pulau.
Rombongan kami masuk di saat turis-turis mulai meninggalkan pulau itu.
Pada saat mereka keluar, kami masuk. Dalam waktu dua belas jam kedepan, Maya
Bay akan menjadi milik kami. Tanpa gangguan wisatawan yang lain.
Kami berjalan mengikuti Jess dan Coco.
Tak lama kemudian kami tiba di sebuah pondok bambu yang tidak terlalu besar namun cukup panjang, kira-kira muat ditiduri
dua puluh lima
orang. Ada
semacam pantry di sebelah kiri
pondok. Dan juga ada mini bar. Di
depan pondok itu tampak sudah disediakan kayu bakar untuk api unggun. “This is where we stayin. This is our base
camp. You can also sleep here. This is the place where we gonna have fun
tonight.” Jess memberi tahu. Di sekitar pondok itulah, kami akan bersenang-senang.
Pondok itu akan menjadi base camp kami
selama berada di sana.
Jess kemudian memberikan pengumuman “Now it’s free time, you can go around the beach, watch sunset or else.
It’s free time. Please come back to our base camp at seven for dinner. Enjoy
your time.” Saatnya waktu bebas. Saatnya menuju pantai. Saatnya merasakan “The Beach”.
Aku dan Risty kemudian mengikuti jalan setapak yang ada di sebelah
kiri pondok. Dengan bersemangat aku melangkahkan kakiku ringan. Dari kejauhan
air laut mulai terlihat. Bukit kapur raksasa mulai nampak. Aku semakin cepat
melangkahkan kakiku. Tak sabar ingin sampai pantai itu. Tak lama kemudian
akhirnya aku menemukan surga.
Sore itu indah. Matahari sudah tak nampak lagi. Matahari sudah
berangkat lebih awal menuju belahan bumi lainnya. Wajahnya tak lagi terlihat. Yang
ada hanya seberkas sinarnya yang tersisa dan membuat langit memerah.
Di hadapanku terlihat bukit kapur raksasa yang berdiri megah bagai
benteng yang kokoh yang ada di kiri dan kanan. Bagian tengahnya terlihat kosong.
Seperti sengaja dibiarkan terbuka agar siapapun yang lewat bisa masuk.
Pantainya landai. Sangat luas dan panjang. Pasirnya putih. Bersih.
Tak ada sedikitpun sampah yang mengotori. Sore itu, warna air laut yang
biasanya berwarna biru tak terlihat. Lenyap dihapus senja. Karang-karang yang tajam
mulai bermunculan, menggantikan air laut yang surut akibat gaya gravitasi benda-benda angkasa. Lautnya
terlihat kering, seperti kolam ikan yang habis dikuras.
Meskipun laut terlihat kering dan membuat pemandangan tak seindah
yang aku bayangkan, namun tetap saja pemandangan di sana sempurna untuk menikmati senja. Tak ada
alasan untuk tidak menikmatinya.
Berada di pantai pada sore hari, memandangi langit yang memerah,
membiarkan kakiku yang telanjang menginjak pasir, merelakan tubuhku tertiup
angin, melihat burung-burung beterbangan, serta mendengar suara air laut
mencumbu bibir pantai, membuatku merasakan surga. Rasanya nikmat. Penuh dengan
kedamaian. Menyejukan jiwa. Bagiku, tak ada tempat yang lebih baik selain
pantai untuk menikmati senja.
Maya Bay di Kala Senja |
Habis sore, terbitlah malam. Saatnya kembali menuju base camp. Biasanya setelah melakukan
aktifitas seharian, hal pertama yang dilakukan adalah mandi. Dari base camp,
aku pun segera menuju toilet/kamar mandi yang letaknya kurang lebih tiga ratus
meter. Tapi apa boleh buat, di sana
tidak ada fasiltas air bersih. Ada
air, namun airnya asin dan lengket tidak sebagus air tanah. Aku hanya bisa
membersihkan badan seadanya. Hasilnya kurang maksimal. Badan bersih tapi masih
menyisakan rasa lengket di kulit.
Toilet yang tersedia juga apa adanya. Kotor, penuh pasir, dan WC-nya
penuh dengan karat. Untuk buang air kecil masih masuk akal, tapi untuk buang
air besar aku akan berpikir dua kali.
Kembali ke base camp, api
unggun terlihat sudah menyala. Para rombongan
sudah duduk manis melingkari api itu. Kami pun segera begabung besama mereka.
Sambil menunggu makan malam, kami mulai membaur dan mulai
memperkenalkan diri. Mereka kebanyakan tidak menyebutkan nama, hanya satu dua
orang yang menyebutkan nama, yang lain hanya memberi tahu asal mereka saja.
Ada empat orang Inggris, empat orang Amerika Serikat, tiga orang
India, dua orang Irlandia, dua orang Spanyol, dua orang Perancis dan dua orang
Indonesia. Total ada 19 orang peserta termasuk aku dan Risty.
Suasana mulai hangat. Kami mulai berbincang, bertukar cerita satu
sama lain Di sebelah kananku ada Henry, seorang pria asal Inggris. Badannya
kurus. Rambutnya hitam. Alisnya tebal.
Gayanya slengean. Cuek. Mulutnya tak
pernah kehabisan energi untuk bicara. Cerewet, seperti bebek yang lagi galau.
Henry datang bersama kedua temannya. Dua wanita asal Amerika Serikat. Kedua
wanita itu murah senyum namun pendiam.
Di sebelah mereka ada sepasang kekasih asal Spanyol. Mereka lebih
sibuk dengan diri mereka sendiri dan terlihat kurang bersemangat untuk membaur.
Setelah itu ada tiga orang pria asal India. Ketiganya berbadan besar
berkulit gelap. Mereka juga terlihat sibuk dengan diri mereka sendiri, mungkin
karena kendala bahasa. Mereka hanya asik ngobrol bertiga.
Di samping kanan kelompok India, ada sekelompok anak muda
asal Inggris. Dua wanita dan satu pria. Yang pria rambutnya pirang. Keriting,
mirip mie instan. Yang wanita, satu berambut keriting pirang, agak gemuk
berkulit bintik bintik merah seperti kebanyakan orang Inggris. Satunya lagi
berambut hitam panjang sebahu, tinggi besar dan punya senyum yang sangat manis.
Mereka masih sangat muda dan terlihat bersemangat.
Di sebelah mereka ada pasangan kopi susu asal Amerika Serikat. Yang
pria berkulit hitam, badannya kekar berotot, mirip anggota Navy Seal pada
film-film Holywood. Yang wanita, berkulit putih. Tinggi semampai. Manis. Pasangan
itu benar-benar tak mau membaur. Hanya sekali mereka melempar senyum kepada
peserta yang lain. Setelah itu mereka asik tidur-tiduran sambil berpelukan, tak
peduli dengan yang lainnya seakan Maya
Bay hanya milik mereka
berdua.
Tak jauh dari pasangan asal Amerika itu, ada dua wanita Perancis
yang cantik. Keduanya berambut hitam. Yang satu panjang terurai hingga
menyentuh punggung, yang satunya lebih pendek hanya sebatas leher mendekati
pundak. Keduanya seksi. Yang rambutnya lebih pendek hanya mengenakan bikini
hitam sedangkan yang satunya lagi mengenakan kutang berwarna hijau dan celana
pendek hitam.
Pasangan suami istri asal Irlandia melengkapi peserta Maya Bay Camping malam itu. Mereka
terlihat menikmati api unggun walau tak banyak berbicara.
Tak lama kemudian Coco memanggil
kami semua, makan malam sudah siap. Menu makan malam pada malam itu adalah
nasi, ayam rebus ala Thailand,
dan sayur campur juga khas Thailand
yang sekilas penyajiannya mirip sayur lodeh. Rasanya cukup aneh namun masih bisa
dipahami lidah.
Setelah makan malam selesai, Jess dan Coco
mengajak kami semua main ke pantai untuk melihat plankton, organisme laut
tumbuhan atau hewan yang sangat halus, yang merupakan makanan utama ikan. Malas
terkena air laut lagi karena sudah bersih-bersih, aku dan Risty hanya berjalan
di sepanjang pantai dan duduk sejenak menikmati hembusan angin laut.
Selanjutnya kami kembali ke base
camp. Kami kembali berkumpul mengitari api unggun. Coco
sudah siap dengan gitarnya. Aku siap mendengarkan dan siap menyanyi jika
lagunya aku kenali. Coco mulai memetik
gitarnya yang butut dan mulai bernyanyi.
“Anothew tuwning point a fowk
ztuck in the woad…Time gwabs you by the wwizt, diwectz you whewe to go…..” Bermodalkan suara cempreng yang sedikit serak, Coco
mulai bernyanyi sambil memetik gitarnya. Sebuah lagu dari Greenday berjudul “Good
Riddance (Time of Your Life)” menjadi tembang pembuka malam itu.
Para peserta camping mulai terlihat menikmati,
walaupun tak semuanya ikut bernyanyi. Awalnya hanya aku, Risty dan sekelompok
anak muda dari Inggris saja yang mulai latah bernyanyi. Yang lain hanya
mendengarkan, mungkin karena tidak tahu lagunya.
Coco teus
bermain gitar dan bernyanyi mendendangkan cukup banyak lagu. Coco
membawakan lagu-lagu yang populer di tahun 90-an dan beberapa tembang classic rock. Lama kelamaan suasana makin terasa menyenangkan. Para peserta camping
yang lain mulai terpancing untuk ikut bernyanyi. Keakraban mulai terbentuk.
Kami semua bernyanyi sambil sesekali tertawa mendegar Coco,
yang kadang serius kadang tidak dalam bernyanyi. Kadang di tengah lagu,
tiba-tiba ia terkekeh sendiri. Entah kenapa. Mungkin menertawai dirinya sendiri
yang sedikit gila.
“Listen up guys, now you
can exchange your ticket with a bucket. Please go to mini bar” Di tengah-tengah suasana karaoke akustik itu, Jess memberi tahu, Bucket sudah tersedia. “Bucket is some kind of Thailand
traditional drinks. Don’t drink too much, it will makes you drunk…hihihi..”
Jess tertawa nakal. Dari informasi yang diberikan oleh Jess, minuman itu sudah
pasti mengandung alkohol.
Aku dan Risty memutuskan untuk tidak mengambil minuman itu. Aku
tidak ingin mabuk dan merusak kenikmatan yang aku rasakan di sana. Aku ingin menikmati malam itu dengan
sadar, tanpa pengaruh alkohol. Sementara itu peserta camping yang lain sangat bersemangat mengambil minuman itu.
Setelah meminum bucket,
para peserta camping itu tampak mulai panas. Henry, pria asal Inggris yang
gayanya slengean sepertinya mulai mabuk. Ia yang sebelum minum sudah cerewet,
kini makin aktif berkicau. Dua wanita cantik asal Perancis yang berpakaian
seksi juga sudah mulai bertingkah. Mereka mulai tertawa cekikikan dan sesekali
berteriak ke Coco “We want French Song! Come on Coco play some French Song!”
Suasana makin seru. Makin banyak yang bernyanyi dan makin keras
suaranya. Sangat menyenangkan bernyanyi bersama orang-orang dari mancanegara sambil
dihangatkan oleh api unggun dan diterangi bulan. Rasanya damai, seolah tak ada
perbedaan diantara kami. Rasa hormat dan persahabatan menyatukan kami. Betul-betul
menyenangkan. Seandainya saja dunia ini seperti itu. Bersatu. Damai. Saling
berbagi kebahagian tanpa terpengaruh perbedaan. Alangkah indahnya.
Setelah cukup lama bernyanyi, Coco
terlihat lelah dan mulai kehabisan ide tak tahu harus membawakan lagu apa lagi.
Ia kemudian meninggalkan gitarnya dan beristirahat. Jess kemudian mengambil
alih dan mengajak kami semua bermain kartu. Permainan yang dibuat oleh Jess
cukup menyenangkan. Semua peserta cukup mengambil sebuah kartu dan setiap angka
yang muncul punya perintah dan makna tertentu.
Aku mengambil kartu dan mendapat angka 5. Angka itu berarti aku
harus membuat peraturan. Semua peserta harus mengikuti apa yang aku
instruksikan. “Let’s drink without using
hands!” Ujarku memberi perintah. Dan semua peserta mulai meminum minumannya
tanpa menggunakan tangan dengan gayanya masing-masing.
Jess kemudian mengambil kartu dan mendapat kartu bergambar Queen, yang artinya semua wanita harus
minum. Dan masih banyak perintah lainnya dibalik kartu yang diambil. Begitu
seterusnya kami bermain sambil ditemani musik yang bersumber dari ipod salah satu peserta yang dihubungkan
ke sebuah speaker.
Aku dan Risty duduk dekat tiga orang pemuda asal Inggris. Kami
paling sering bernyanyi bareng dengan mereka. Dari semuanya, mereka adalah yang
paling nyambung dengan kami.
Kami mulai ngobrol dan berkenalan dengan mereka. Matthew, Shannon dan Ema. Matthew tentu saja yang pria, sedangkan Shannon gadis yang berambut hitam, sementara Ema yang
berambut pirang.
Sambil menikmati permainan dan playlist
lagu yang menyejukan, aku dan Risty melanjutkan ngobrol dengan ketiga pemuda
asal Inggris itu. Bagiku berbincang dengan turis asing adalah salah satu
kegiatan yang paling mengasyikan dalam travelling.
Anak-anak muda asal Inggris itu bercerita kalau mereka tidak bersama-sama
dari awal. Dari Inggris mereka berangkat masing-masing dan belum mengenal satu
sama lain. Mereka ternyata baru kenal dan bertemu di Bangkok dan kemudian memutuskan untuk
berpetualang bersama.
Perbincangan semakin seru ketika Shannon
terkejut mendapati kami mengetahui lagu-lagu yang dipasang malam itu. “Oh My God! You guys knows Temper Trap?
Seriously??” Shannon terkejut ketika
melihat kami ikut menyanyikan lagu Sweet Disposition milik Temper Trap yang
kebetulan sedang berkumandang. “I thought
nobody knows them, but you guys know! Cool! “ tambahnya. Shannon tambah
terkejut ketika kami memberi tahu kepadanya kalau vokalis Temper Trap itu orang
Indonesia.
“So this is your playlist?
Cool! Great songs! I love it” Aku memuji pilihan
lagu Shannon yang enak didengar. Kebanyakan
lagu-lagu akustik bertempo pelan. Sangat pas dengan suasana santai. “Ahh finally someone like my playlist!
Thanks!” Shannon tampak puas, sepuas anak
kecil yang mendapat nilai bagus pada saat ujian.
Kami melanjutkan perbincangan. Shannon
bercerita, ia sedang cuti. Bukan Cuti kerja tapi cuti kuliah sehabis lulus SMA.
“My mom told me, you’re still young. Do
something fun, explore the world, enjoy your life…and I was like… yeah you’re
right mom! Let’s travel around the world! So here I am travel to Asia want to find out what the world looks like…” Mendengar
itu Matthew dan Emma menganggukan kepala mereka, setuju. “My parents told me the same” tambah Matthew.
Aku cukup terkejut. Pikiran orang tua mereka sangat terbuka, malah
menyarankan agar anaknya jalan-jalan melihat dunia selagi masih muda. Bahkan
mengizinkan anaknya tidak kuliah dulu. Di Indonesia, sangat sulit untuk
menemukan orang tua yang seperti itu.
“I pick Asia!
Because it’s cheap and Asia is the place where
the sun rises! Heaven! After Thailand
I’m going to Cambodia and
then to Bali, Indonesia.” Shannon melanjutkan perbincangan.
Matahari memang menjadi incaran utama bagi orang Inggris seperti Shannon, di
Inggris sana,
matahari malas keluar. Di Inggris, awan mendung lebih rajin datang ketimbang
matahari. Orang-orang Inggris sangat mendambakan matahari. Jadilah Asia menjadi
tujuan plesiran mereka.
Selain berbincang, kegiatan yang paling aku nikmati jika jalan-jalan
ke luar negeri adalah mengamati tingkah laku dan gerak-gerik orang-orang yang
berada di sekitarku, entah itu warga setempat ataupun turis-turis asing.
Diantara peserta camping
malam itu, yang menjadi perhatianku adalah gerak-gerik dua wanita seksi asal
Perancis dan kelakuan dua orang penjaga pulau yang sepertinya sedang berusaha
keras untuk mendekati dan merayu mereka dengan maksud dan tujuan tertentu.
Kedua penjaga pulau itu wujudnya seperti beach boy di pantai Kuta. Keduanya berkulit coklat gelap mengkilap.
Yang satu badannya cukup ideal. Masih muda. Berotot. Tampak penuh energi. Yang
satu lagi sedikit lebih berumur. Badannya juga berotot, namun lemaknya mulai
banyak terlihat, apalagi di bagian perut yang mulai membuncit. Rambutnya
panjang dikuncir kuda dengan posisi kuncir tepat diatas kepala, bukan di
belakang. Warnanya coklat kepirangan entah habis dicat atau gara-gara terlalu
sering kena sinar matahari. Wajahnya? Jauh dari tampan.
Mereka mendekati kedua wanita Perancis dengan gigih. Mereka terlihat
sangat perhatian. Mereka tak pernah jauh-jauh dari kedua wanita itu. Menempel
terus dengan ketat. Mereka tak sungkan-sungkan memberikan bunga atau sekedar
mengambilkan minuman. Apapun yang kedua wanita itu butuhkan, mereka siap
membantu.
Anehnya, perhatian dua orang penjaga pulau itu hanya tertuju kepada
dua wanita cantik asal Perancis itu. Kalau hanya beramah tamah dan mencari
teman, kenapa perhatian mereka hanya tertuju kepada dua wanita itu saja? Dengan
yang lain tidak begitu. Memang harus diakui, diantara peserta yang lain, kedua
wanita Perancis itu memang yang paling menggoda. Mungkin itu alasannya, atau mungkin
karena yang lain datang berpasangan dan setidaknya ada satu pria di kelompok
masing-masing, sedangkan dua wanita Perancis itu tak ada laki-laki yang
menjaganya.
Terlintas di benakku mungkin tujuan mereka adalah mencari teman
tidur. Entahlah. Bisa saja begitu. Siapa tahu. Yang jelas mereka sangat gencar melemparkan
rayuan. Giat. Agresif. Tak kehabisan akal. Seperti seorang sales asuransi yang sedang meracuni calon nasabahnya dengan janji
manis keunggulan produknya.
Yang menggelikan, kedua wanita Perancis itu tampak cengar-cengir
saja. Mereka tertawa. Entah apa mereka bicarakan. Mungkin kata-kata manis,
gombalan atau guyonan, yang jelas kedua wanita Perancis itu nampak senang. Mereka
menerima serangan dua penjaga pulau itu tanpa perlawanan. Kedua wanita Perancis
itu seperti gadis SMA yang sedang dirayu oleh kakak kelas pujaannya. Tak
berkutik. Tak berdaya. Hanya bisa tersipu malu dan melemparkan senyum manja.
Peserta yang lain tampak kalem, hanya berbicara dengan kelompoknya
saja. Hanya Henry yang masih berkoar-koar dan bersuara lantang. Sepertinya efek
alkohol sudah mulai menyebar di seluruh tubuhnya. Sementara itu pasangan kopi
susu asal Amerika Serikat sudah lenyap entah kemana. Mereka sepertinya memang
tak peduli dengan yang lain dan hanya ingin menikmati dunianya sendiri.
“Lizzen up!! In a few
minutes me and two of my fwiends will pewfowm fiwew ztick zhow!! Be weady!!
Heheheh!!” Seru Coco sambil melakukan pemanasan
bersama kedua rekannya. Mereka mulai berlatih dan memutar-mutar tongkat yang
panjangnya kira-kira 100cm.
“Hey Englizh Giwl!! Do you have any weggae zongz??” Coco meminta
lagu reggae kepada Shannon yang kebetulan
membawa ipod berisi banyak lagu. “Nope… I don’t have any reggae songs…I’m
sorry… ” Shannon menggeleng.
“Zhit! No weggae zongz!” Coco mulai gelisah. Ia mulai
kebingungan. Sepertinya tanpa musik reggae ia tidak bisa beraksi dengan
maksimal. “hmm… juzz gimme upbeat tempo zongz!”
Ujarnya pasrah kepada Shannon.
Shannon kemudian mengecek ipodnya, dan memilih lagu-lagu bertempo
cepat sesuai permintaan Coco. Tak lama
kemudian musik-musik trance bertempo
cepat mulai terdengar dari speaker. Coco kemudian membakar tongkatnya dengan api,
melangkahkan kaki dan memulai pertunjukan.
Dengan percaya diri dan tanpa sedikitpun rasa takut, Coco mulai memutar-mutar tongkat berapi itu dengan lihai.
Api sepertinya bukan hal yang mengerikan buat Coco.
Ia terlihat menyatu dengan tongkat api itu. Mereka seperti berteman. Akrab.
Coco memutar
tongkat api itu dengan cepat, sehingga tongkat itu membentuk sebuah lingkaran. Ia
memindah tongkat itu dari depan ke belakang, dari kiri ke kanan dan terkadang
melempar tongkat itu ke atas dan menangkapnya. Coco
sangat mahir memainkan tongkatnya, semahir Bruce Lee memainkan Nunchaku (tongkat kayu ganda berantai).
Dengan pandangan mata masih tertuju kepada dua wanita Perancis,
kedua orang penjaga pulau itu mulai mengambil tongkat, membakarnya dan
bergabung dengan Coco. Mereka memulai aksinya,
bermain tongkat api. Mata dan pandangan mereka masih tertuju kepada dua wanita
Perancis itu. Seakan mereka khusus mempersembahkan aksinya untuk kedua wanita
itu.
Kedua orang itu cukup mahir tapi kemampuan mereka jauh di bawah Coco. Mereka tidak selihai dan seahli Coco.
Tak jarang tongkat mereka terjatuh. Gerakan badannya juga kurang luwes. Kaku. Mungkin
karena musik pengiringnya bukan reggae, jadi mereka kurang rileks. Atau mungkin
fokus mereka sudah dirampas oleh dua wanita Perancis itu, jadinya kurang
konsentrasi. Meski demikian, mereka tetap berhasil membuatku dan peserta camping yang lain terhibur.
Pertunjukan Tongkat Api |
Duduk diatas pasir, dihangatkan oleh api unggun, sambil menyaksikan
atraksi tongkat api dengan suasana penuh tawa sungguh menyenangkan. Suasananya
hangat. Santai. Penuh dengan kegembiraan. Apalagi malam itu bulan purnama
menyinari. Bintang-bintang pun bertebaran di langit. Malam itu sempurna.
Tak terasa, sudah hampir tengah malam. Rasanya masih ingin terus
menikmati malam, tapi apa boleh buat, mau tak mau malam harus berlalu
dikalahkan waktu. Tubuh pun sudah mulai lelah dan butuh istirahat. Saatnya
tidur.
Malam itu cuaca cerah. Tidak ada tanda-tanda bakal hujan. Aku dan
Risty memutuskan untuk tidur di pinggir pantai. Kami mengambil perlengkapan
seperlunya dan segera bergegas ke pantai.
Tak ada kasur yang empuk di sana.
Yang ada hanya sleeping bag tipis dengan bantal seadanya. Tak ada
pendingin ruangan. Yang ada hanya angin laut yang menyejukan. Tak ada cahaya
bohlam yang menerangi. Yang ada hanya bulan purnama beserta cahaya bintang. Tak
ada atap yang melindungi. Yang ada hanya langit yang memayungi.
Namun itu semua justru membuat tidurku sangat nikmat. Sungguh nikmat
tidur di pinggir pantai, beratapkan langit yang penuh bintang, beralaskan
pasir, disejukan oleh angin laut, sambil mendengar suara ombak yang bergemuruh.
Rasanya seperti bersatu dengan alam. Luar biasa nikmat. Rasanya jauh lebih
nikmat jika dibandingkan dengan tidur di hotel bintang lima sekalipun. Rasanya sangat tentram.
Damai. Mungkin itu rasanya surga.
Aku pun menutup mata dan berharap esok hari, aku akan dibangunkan
oleh hangatnya sinar matahari.
Hujan. Sesuatu yang aku khawatirkan sebelum berangkat, terjadi. Titik-titik
air yang berjatuhan dari langit membangunkanku. Kutengok jam tanganku, hanya
tiga puluh menit aku tidur. Hujan mengganggu tidurku. Seketika, hujan merampas
kedamaian yang aku rasakan. Hujan turun pada saat yang tak terduga. Pada saat
aku sedang tak terjaga.
Hujan makin deras, angin bertiup makin kencang. Aku dan Risty tak
punya pilihan. kami segera merapihkan sleeping
bag dan segera berlarian menuju ke base camp. Akhirnya kami berteduh di
pondok, menunggu hujan untuk segera berlalu.
Sepuluh menit kumenanti, hujan belum mau pergi. Hujan masih setia
turun membasahi bumi. Dua puluh menit berlalu, hujan belum juga selesai
bertamu. Ia masih saja mengganggu.
Aku menyerah. Akhirnya kuputuskan untuk tidur di pondok base camp. Jess kemudian menghampiri
kami dan menayakan apakah kami butuh sesuatu. “Too bad the rain is falling, bad timing isn’t? you better just sleep
here.” Ujarnya ramah.
Karena badan sudah terasa sangat lelah kami segera tidur, bergabung
dengan para peserta camping yang lain
yang juga memutuskan untuk tidur di sana.
Aku mulai memejamkan mata, sambil berharap hujan tak akan menggangu lagi di
pagi hari. Diiringi suara rintik-rintik hujan yang seakan sedang membacakan
dongeng buatku, aku akhirnya tertidur.
Tepat pukul lima
pagi, suara menggangu dari alarm ponselku membuatku terbangun. Alarm sengaja
kusetel pukul lima
pagi, agar aku punya banyak waktu untuk menikmati pulau kecil itu. Pagi itu
masih gelap. Tak ada bedanya dengan malam. Langit masih berwarna hitam. Tapi
beruntung, hujan sudah lenyap.
Aku dan Risty kemudian segera berlari menuju bagian belakang pulau
untuk menanti datangnya sinar mentari. Tiga puluh menit kami di sana, langit yang tadinya
gelap, perlahan-lahan mulai berubah menjadi cerah. Kehangatan mulai terasa.
Namun, matahari belum juga menampakan diri. Wajahnya yang berseri tidak
terlihat, mungkin karena terhalang oleh bukit kapur yang memagari.
Hingga pukul enam pagi, meskipun sinarnya sudah mulai mencerahkan
langit, namun wajahnya belum juga kelihatan. Sepertinya ia enggan menampakan
diri. Mungkin hari itu ia sedang ingin bekerja di belakang layar. Tak kelihatan
namun tetap berfungsi. Tak masalah buatku asalnya sinarnya tetap mendominasi
langit dan tak terganggu awan-awan hitam. Asalkan tidak hujan, itu sudah cukup
buatku.
Aku dan Risty segera meninggalkan bagian belakang pulau dan segera
menuju ke bagian depan. Di sanalah terdapat pantai yang dilihat oleh Richard di
film The Beach. Pantai yang menjadi alasan mengapa aku berkunjung ke sana. Pantai dengan
pemandangan seindah surga.
Sesampainya di sana,
aku terpana. Pantai itu sungguh indah. Pemandangannya memukau. Membuatku
berdecak kagum. Walau bentuknya tidak sama persis dengan apa yang kulihat di
film The Beach, tapi pemandangan pagi itu sungguh berhasil membuatku terpesona.
Pagi itu sempurna. Air laut tak lagi surut seperti ketika aku tiba
kemarin sore. Kini airnya sudah pasang, menutupi karang-karang yang kini tak
terlihat lagi. Warna air lautnya sudah kembali. Tak gelap lagi. Warnanya biru turquoise. Indah. Menyejukan mata. Apalagi
pada saat diterpa sinar matahari, tingkat kecantikannya meningkat dua kali.
Pagi itu, pantai hanya dimiliki oleh peserta camping, bebas dari keramaian. Tak terganggu oleh kerumunan turis massal. Suasananya tenang. Tentram. Sepi. Bebas dari gangguan
suara bising. Yang ada hanya suara angin, kicauan burung dan gemuruh ombak yang
memanjakan telinga.
Kutelusuri pantai dari sisi kanan hingga ujung kiri. Kuhirup udara
pagi yang segar. Bersih. Bebas polusi. Baik untuk konsumsi paru-paru.
Sepanjang pantai aku berlari riang, bertelanjang kaki tanpa ada
siapapun yang menghalangi. Sesekali aku melipir ke tepi, hanya untuk membasahi
kaki dan sesekali menampari air laut membuat suara kecipak-kecipuk. Rasanya
bebas. Lepas. Puas.
Setelah lelah kuberlari, kulemparkan badanku ke pasir yang putih dan
lembut, seputih dan selembut bedak bayi. Sambil berbaring, kupandangi bukit
kapur, air laut, langit cerah tanpa rasa bosan sedikitpun. Aku terpaku. Tak bisa
berhenti memandangi.
Lalu aku duduk santai sambil sesekali menjepret kameraku. Aku masih
memandangi pemandangan pantai yang menakjuban itu. Aku belum bosan. Tak pernah
jenuh. Rasanya tak ingin pergi. Aku ingin terus berada di sana. Selama mungkin. Duduk dan tak melakukan
apa-apa. Merasakan surga.
"The Beach" Maya Bay |
Waktu menunjukan pukul delapan pagi. Jess memberi tahu kami agar
bersiap-siap karena sebentar lagi kami akan segera meninggalkan pulau itu. Tak
terasa seratus dua puluh menit berlalu. Sangat singkat. Entah kenapa di
tempat-tempat yang penuh kedamaian, di tempat-tempat yang indah, waktu
sepertinya berjalan lebih cepat.
Sebelum pergi Jess menyuruh kami sarapan. Dengan berat, aku berdiri
kemudian melangkah menuju tempat sarapan. Kuhampiri sebuah meja panjang yang
terbuat dari triplek seadanya. Di atas meja itu tersedia roti panggang, selai
kacang, segelas coklat panas, kopi, teh dan buah-buahan termasuk nanas Thailand
favoritku. Setelah menghabiskan sarapan, aku langsung berkemas. Pukul setengah
sembilan pagi. Waktunya untuk meninggalkan Maya Bay.
Berat rasanya, tapi aku harus pergi. Sebelum pergi, kami semua
peserta camping berfoto di sana. Mengabadikan
kebersamaan kami. Total peserta camping
tinggal tujuh belas orang. Pasangan kopi susu asal Amerika Serikat ternyata
sudah pergi dari pagi hari. Mereka berangkat terlebih dahulu.
“One, two, three!! Smile!!!
Okay one more time…this time you guys jump. Ready?? One, two, three JUMP!!!“
Aba-aba dari Jess mengarahkan gaya
kami. Kemudian kami bertujuh belas melompat dengan gaya masing-masing. Hasilnya sungguh
mengesankan. Apalagi foto pada saat kami semua berpose sambil melompat,
melihatnya selalu membuatku mengembangkan senyum. Di foto itu terpancar energi
kebahagiaan, penuh dengan kegembiraan. Foto yang akan selalu kusimpan karena
penuh dengan kenangan.
Lompatan Ceria :) |
Sebenarnya aku masih ingin berada di sana, tapi waktu tak mengizinkan. Maya Bay
harus kutinggalkan. Aku dan peserta camping
yang lain segera bergegas menuju pintu belakang pulau itu. Sama dengan cara
kami masuk, kami harus berenang. Dengan berat kuceburkan diriku ke laut,
mengayunkan tanganku, menggerakan kakiku, berenang menuju kapal. Tak lama
kemudian, mesin kapal menyala. Kapal pun mulai bergerak menuju Phi-Phi.
Selamat tinggal Maya
Bay. Suatu hari nanti aku
ingin kembali. Mengunjungi pantaimu yang berlimpah dengan pesona. Merasakan
kembali indahnya surga.
5. Phi Phi View Point
Sekitar pukul setengah sebelas kami kembali tiba di Phi-Phi. Hal
pertama yang aku dan Risty lakukan setelah pamit dengan Jess, Coco dan peserta camping lainnya adalah segera menuju
agen perjalanan untuk mengambil tas yang kami titipkan. Selanjutnya kami
beristirahat sejenak di tempat itu kemudian membeli tiket feri pulang ke Phuket
serta tiket minibus service untuk menuju ke daerah Kata/Karon,
sebuah lokasi pantai yang menjadi tujuan wisata kami selanjutnya. Dari Phi-Phi,
kami dijadwalkan menyeberang ke Phuket pukul setengah dua siang.
Masih punya banyak waktu untuk menunggu, kami sekali lagi menjelajah
Phi-Phi. Risty menyarankan agar aku melihat Phi-Phi Viewpoint, sebuah tempat di
atas bukit dimana kita bisa melihat Phi-Phi dari ketinggian. Menurut pengalaman
Risty, di atas sana
pemandangannya cukup elok.
Untuk mencapai Viewpoint dibutuhkan sedikit usaha ekstra. Dibutuhkan
lebih dari tiga puluh menit berjalan kaki untuk mencapainya. Walaupun jaraknya
tidak terlalu jauh, tapi medannya cukup berat. Kami harus melalui
tanjakan-tanjakan curam dan menaiki anak tangga yang sangat banyak jumlahnya.
Melelahkan.
Tapi sesampainya di atas, tak ada penyesalan sedikitpun. Apa yang
dilihat di atas sana
dapat menghibur mata. Pemandangannya cukup memesona. Akibatnya, rasa lelah
lenyap seketika.
Bersama turis-turis yang cukup banyak jumlahnya, aku duduk santai di
atas sana.
Menikmati pemandangan itu. Di atas sana
tak banyak opsi, hanya bentuk pulau Phi-Phi yang bisa dinikmati. Namun demikian
pemandangannya sanggup menyenangkan hati.
Dari atas, terlihat bentuk pulau Phi-Phi yang cantik. Daratannya
membelah lautan menjadi dua. Yang kiri, warna lautnya biru tua. Ramai disesaki
oleh kapal-kapal yang dari atas terlihat seperti titik-titik berwarna putih. Yang
disebelah kanan berwarna biru muda. Terlihat lebih sepi. Di belakangnya
terdapat bukit besar, panjang dan luas yang penuh oleh tumbuhan bedaun hijau.
Itu saja yang bisa dinikmati. Tapi cukup buatku untuk bilang kalau tempat
itu adalah tempat yang wajib dikunjungi di Phi-Phi.
Setelah puas memandangi Phi-Phi dari atas bukit, kami segera turun
dan mencari makan. Waktunya makan siang. Banyak sekali restoran di Phi-Phi.
Tapi anehnya, kebanyakan didominasi oleh restoran yang menyajikan masakan
Eropa.
Tak tahu lagi harus makan di mana, akhirnya kami memutuskan untuk
makan di sebuah restoran Italia. Tak mau mencoba yang aneh-aneh. Satu pan pizza
berisi delapan potong menjadi pilihan kami.
Pizza yang disajikan tipis dan kering. Konon di Italia sana, pizza asli seperti
itu. Tidak seperti kebanyakan restoran pizza cepat saji di Indonesia yang banyak menggunakan
roti tebal.
Pizza yang kami pesan itu ternyata rasanya enak. Mengejutkan. Tak
kusangka sebelumnya. Rotinya garing. Renyah. Topping pizza yang terdiri dari potongan daging giling, sosis dan
parutan keju sukses membuat lidahku kegirangan. Lezat.
Selesai makan siang, kami segera menuju dermaga, meninggalkan
Phi-Phi menuju kembali ke Phuket.
Phi-Phi Viewpoint |
6. Jinta Andaman & Pantai Kata
Setelah menempuh dua jam perjalanan dari Phi-Phi, kami tiba kembali
di Phuket. Seorang supir minibus service sudah hadir menjemput kami di
Rossada Port.
Kami langsung menuju hostel incaran kami, Jinta Andaman yang
terletak di daerah Kata-Karon Phuket. Kami belum booking sebelumnya. Kami hanya sempat mengecek dari warung internet
di Phi-Phi. Melihat masih banyak kamar yang tersedia di hostel itu, dengan
percaya diri kami menuju ke sana.
Tanpa kepastian dapat kamar.
Kurang lebih satu setengah jam kemudian, supir minibus mengantar
kami tepat di muka Jinta Andaman Hostel. Dari luar, hostel itu tampak
meragukan. Bangunan hostel itu semacam ruko bertingkat dan tidak terlalu besar.
Hanya bangunan sederhana. Selain itu, yang membuatku ragu adalah sepinya meja
resepsionis. Tak ada seorang pun yang menjaganya. Membuatku bertanya-tanya,
apakah ada kehidupan di sana?
“Excuse me! Excuse
me!...Hallo, is anybody there??” Aku berusaha
mencari orang, siapapun yang ada di sana.
Kucoba berkali-kali, masih juga belum ada yang menyahut. Aku jadi ragu. Mungkin
yang kulihat di internet hanya trik promosi belaka.
Tak lama kemudian seorang pria yang rambutnya mulai beruban datang
menghampiri kami. “Hallo! I’m sorry, I
was just cleaning up, so I don’t hear you guys. Is there anything I can do for
you?” Pria itu menyapa kami. Kemudian kami berbincang dan menanyakan
kepadanya apakah ada kamar yang tersedia. Tanpa panjang lebar, pria itu
menawarkan sebuah kamar.
“I have Superior Double Bed
Private for you, it’s 300 Baht per night.” Ujar
pria yang ternyata adalah pemilik hostel menawarkan. “Can we see the room?” Tanya Risty cepat. Kemudian pria itu
mengantar kami ke sebuah kamar di lantai dua. Dengan harga 300 Baht atau
sekitar IDR 90.000 per malam, apa yang kulihat melebihi harapan. Kamar itu
bersih, sangat nyaman. AC, TV flat
layar 21 inci, kulkas kecil, lemari, kasur yang empuk menghiasi kamar itu.
Toiletnya pun sangat bersih. Kamar itu adalah salah satu kamar hostel dengan harga
dan kualitas tebaik yang pernah aku temui.
“Okay we’ll take this room” Ucap kami pasti, mengiyakan tawaran pria itu tanpa pikir panjang. Setelah
beres mengurus administrasi pembayaran, kami segera masuk kamar dan langsung
mandi membersihkan badan yang sudah lebih dari 24 jam tidak dibersihkan secara
layak.
Mandi sudah, kini tinggal lelah yang tersisa. Aku membaringkan
badanku sejenak di kasur, beristirahat sambil menikmati kamar yang nyaman. Aku
beruntung, pikirku. Dengan harga yang sangat murah, aku bisa mendapatkan
kenyamanan seperti itu.
Kutengok jam tanganku, pukul lima
lewat lima dua
puluh menit. Aku dan Risty segera keluar kamar, berusaha memanfaatkan waktu
yang terbatas untuk menikmati daerah sekitar hostel. Kami segera turun menghampiri
pemilik hostel itu dan bertanya “Where is
the beach? Kata beach” Dengan ramah pria itu menjawab “ Oh it’s easy, just go straight, and then turn right, after that you
just go straight and just see the sign..it’s only 10 minutes from here.”
Kami mulai berjalan kaki. Daerah sekitar hostel itu seperti kompleks
perumahan. Suasananya tenang. Jauh dari hingar bingar. Cocok untuk tempat
tinggal. Beberapa blok dari hostel terdapat satu jalan yang dipenuhi oleh
bangunan bergaya Eropa. Di sepanjang jalan terdapat bunga-bunga berwarna cerah
dan dihiasi oleh bangku taman. Atmosfirnya membuatku serasa berada di Eropa.
Setelah mampir sebentar di sebuah mini market untuk membeli
makanan ringan dan air minum, kami terus berjalan dan tiba di sebuah
perempatan. Di depan kami ada sebuah jalan kecil yang berdampingan dengan
sebuah kali. Menurut papan penujuk jalan yang ada di depan kami, jalanan itu
menuju sebuah pantai bernama Kata. Kami menyebrang dan menelusuri jalan itu.
Tak lama kemudian kami tiba di pantai Kata.
Sore itu, Pantai Kata ramai pengunjung. Pantai itu sangat luas. Sehingga
banyaknya pengunjung tak membuat pantai itu terlihat penuh sesak. Masih banyak
ruang tersisa. Masih lengang. Pantai itu bersih, bahkan lautnya masih terlihat
kebiruan walaupun sudah mulai lenyap dikalahkan senja.
Atmosfir di sana
menyenangkan. Penuh dengan keceriaan. Sungguh menyenangkan melihat anak-anak
kecil berlarian di pinggir pantai, bermain air, dan bermain dengan anjing
peliharaannya. Banyak juga bule-bule yang masih saja berjemur, berusaha membuat
kulit mereka menjadi gelap. Banyak juga yang hanya duduk memandangi langit yang
akan berubah menjadi gelap.
Dari tepi, kuamati semua itu sambil menenggak bir kalengan yang
kubeli. Kunikmati saat-saat senja
ditelan malam, saat-saat matahari terbenam. Kunikmati semua itu dengan perasaan
senang di hati.
Langit yang sudah berubah menjadi gelap menandakan malam telah tiba.
Kami segera meninggalkan pantai, menuju daerah di sekitar pantai dan berharap
ada keramaian.
Suasana malam di Kata lebih sepi jika dibandingkan dengan Patong.
Kurang meriah. Tak banyak keriaan seperti di Patong. Kurang menarik untuk
dinikmati.
Kami terus menelusuri jalan-jalan di sekitar Kata, namun kami tidak
menemukan sesuatu yang istimewa. Kami hanya iseng menjajal jajanan di pinggir
jalan seperti pisang coklat dan kebab Turki.
Tak tahu tempat apalagi yang harus disinggahi, kami akhirnya
memutuskan untuk kembali ke hostel, beristirahat lebih awal sambil menyusun
rencana untuk esok hari.
Malam itu aku dan Risty sebenarnya belum punya rencana yang pasti
kemana kami akan pergi esok hari. Bermodal fasilitas internet cuma-cuma yang
diberikan oleh hostel, kami beusaha mencari tahu tempat apa yang menarik untuk
dikunjungi.
Setelah cukup lama, Risty meuncul dengan sebuah ide menarik. Dia
menemukan foto-foto wisata teman kantornya yang baru saja dari Phuket.
Foto-foto itu memperlihatkan keindahan sebuah tanjung, Promthep Cape
namanya. Setelah diselidiki, tanjung itu letaknya tidak jauh dari Kata,
letaknya di ujung selatan. Akhirnya kami memutuskan, tujuan kami selanjutnya
adalah Promthep Cape.
Pantai Kata |
7. Ya Nui, Promthep
Cape, Rawai & Karon
Aku bangun di pagi hari dengan keadaan segar. Tidurku yang nyenyak
selama kurang lebih sembilan jam berhasil mengalahkan lelah. Kenyamanan kamar
hostel sedikit banyak telah membantuku beristirahat dengan optimal.
Ini adalah hari terakhir petualangan kami di Phuket. Kami
mengharapkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati. Kami berharap dapat
menemukan suatu tempat yang indah yang akan selalu diingat dan tersimpan rapih
di memori.
Setelah berkemas dan membereskan barang-barang kami, kami segera
menuju lobi hostel. Kami berbincang dengan staf hostel yang sedang berjaga. “Do you know where promthep cape is?”
Tanyaku pada petugas itu. “Oh it’s right
here, it’s near. By motorcycle it only takes 20 minutes.” Jawabnya sambil
menujuk titik pada sebuah peta.
“Is There any public
transportation that can bring us there?” Tanyaku
lagi. “Negative, you should rent a
motorcycle” Staf hostel itu menggeleng. Setelah berdiskusi dengan Risty,
akhirnya kami sepakat untuk menyewa skuter metik. “So do you want to use the motorcycle for full day or half day?”
Pegawai itu menawarkan.
Kami memilih menyewa setengah hari karena sore harinya kami akan
segera menuju ke bandara, mengejar penerbangan pulang ke Jakarta. Tarifnya 15 Baht saja, atau sekitar
IDR 45.000. Kami juga langsung check-out,
dan sekalian memesan minibus service untuk ke bandara. Setelah semua
urusan administrasi selesai, kami segera pergi melanjutkan petualangan kami.
Staf hostel itu kemudian menyerahkan kunci skuter, dan menyuruh kami
memilih helm yang tersedia di lemari. Dengan sedikit deg-degan aku memakai
helmku, memasukan kuci dan menyalakan skuter itu. Sudah lama dan jarang-jarang
aku mengendarai sepeda motor. Paling-paling hanya meminjam sepeda motor adikku
dan iseng keliling komplek. Jadi aku cukup was-was, apalagi berkendara di
negeri orang.
Semoga Tuhan menyertai perjalanan kami. Doaku dalam hati. Dengan
hati-hati kuputar tuas gas skuter itu. Sambil membonceng Risty, kupacu skuter
metik itu dengan hati-hati. Kami menuju Promthep Cape.
Pagi itu, jalan cukup sepi. Jalanan cukup lengang. Medannya cukup
menantang. Banyak tanjakan dan turunan yang berliku. Namun pemandangan di
sepanjang jalan sangat menghibur, apalagi ketika lautan mulai tertangkap oleh
pandangan mata, membuat perjalanan mengendarai skuter itu sangat mengasyikan. Aku
sangat menikmati momen itu. Sangat menyenangkan. Kunikmati setiap detik yang
berlalu dengan senang hati. Tak peduli teriknya panas matahari.
Di tengah perjalanan, kami melihat sebuah tempat yang cukup ramai
dikunjungi. Kata-Karon Viewpoint. Penasaran, kami memutuskan untuk singgah
sebentar. Tempat itu adalah suatu titik di mana kita bisa melihat Pantai Kata
dan Pantai Karon dari ketinggian. Mirip seperti di Phi-Phi View Point.
Kami melanjutkan perjalanan. Menuju ke arah selatan. Sekitar lima menit dari Kata-Karon
Viewpoint, aku melihat sebuah plang penunjuk jalan. Di bagian paling atas
tertulis tanda panah kanan, Mui
Beach.
Melihat jalannya yang masih beralaskan tanah merah dan bergelombang,
aku penasaran. Jangan-jangan sebuah pantai rahasia. Sebuah pantai yang belum
terjamah. Spontan aku belokan skuter itu ke kanan. Mulai menelusuri jalan itu.
Belum jauh kutelusuri jalan, aku melihat ke depan, medan jalan sepertinya
sangat berat. Sebuah tanjakan curam, dengan jalanan tanah merah yang tak rata dan
bergelombang siap menyambut kami.
Aku menepikan skuter sebentar dan berpikir apakah mungkin medan itu dapat dilalui.
Aku ragu. Tak lama kemudian, kejadian yang tak disangka-sangka mengejutkan kami.
Tanpa diduga, segerombolan anjing liar yang kira-kira berjumlah lebih dari
sepuluh tiba-tiba muncul dari kejauhan. Mereka berlari dengan sangat kencang,
ke arah kami. Wajah anjing-anjing itu terlihat beringas. Mereka seperti habis
melihat makanan setelah tidak makan dua hari. Mereka semakin kencang berlari.
Mereka semakin dekat.
Seketika aku panik. Dengan cepat kubelokan stang skuter ke arah
kanan dan kutancap gas dengan kencang. Dengan susah payah kami berbalik arah. Aku
nyaris kehilangan keseimbangan, akibatnya kami nyaris terjatuh. Setelah
keseimbangan mulai terkendali, kutancap gas sekuat tenaga, berusaha keluar dari
tempat itu secepat mungkin.
Kutengok ke arah belakang, ternyata anjing-anjing itu sudah berhenti
berlari. Situasi aman terkendali. Hatiku mulai tenang, tapi nafasku masih
tergopoh-gopoh setengah mati.
Pelan-pelan kulanjutkan perjalanan. Kupacu skuter pelan-pelan.
Santai. Berusaha mengembalikan nafas menjadi teratur. Berusaha menenangkan
jantung agar berdetak normal.
Setelah kejadian dikejar anjing, aku dan Risty tak bisa berhenti
tertawa. Sulit untuk berhenti. Sepanjang perjalanan kami tertawa geli,
teringat-ingat kejadian yang mirip adegan film-film Warkop DKI. Sangat menggelitik
kami. Rasanya ingin bergulingan di lantai sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Kami beruntung, kejadian itu berakhir dengan bahagia, sehingga
menghadirkan tawa. Aku tak bisa membayangkan jika akhirnya anjing-anjing
berhasil menyergap kami. Mungkin akan menjadi kisah horor tragis yang
mengundang tangis.
Kami melanjutkan perjalan menuju Promthep Cape
dengan riang. Dengan penuh rasa senang. Kami melewati setiap tanjakan, turunan
dan tikungan dengan penuh tawa.
Perjalanan yang menyenangkan.
Perjalanan membawa kami menemukan sebuah pantai, tepat di sebelah
kanan kami. Pantai itu sepi, nyaris tak berpenghuni. Tanpa ragu, aku menepi,
memarkir skuter dan segera memasuki pantai yang menurut plang yang tertancap di
sana bernama Ya
Nui.
Awalnya aku tak berharap banyak dengan pantai itu. Paling-paling
hanya pantai biasa. Pikirku. Ternyata aku salah. Pantai itu ternyata luar biasa
indah. Sederhana namun penuh pesona.
Pantainya tidak terlalu luas. Di bagian tengah terdapat karang besar
yang membagi pantai menjadi dua sisi. Di depannya ada pulau kecil yang
bentuknya seperti kepala brokoli. Pasirnya tidak putih, namun bersih. Warnanya
krem, seperti warna alas bedak. Kalau diperhatikan dengan teliti warnanya
sesekali menyerupai merah muda. Warna air lautnya indah. Biru pekat kehijauan. Jernih.
Bebas dari kontaminasi segala jenis sampah. Dan yang paling menyenangkan,
pantai itu sepi tak terjamah.
Pantai seperti inilah yang kucari. Pantai indah yang tersembunyi.
Tak banyak diketahui. Serasa milik pribadi.
Duduk di pantai, memandangi luasnya lautan. Membiarkan penatku
lenyap tertiup angin. Memanjakan telingaku dengan alunan merdu suara ombak yang
datang tanpa henti. Ditemani oleh seorang
yang sangat kukasihi. Hidup ini indah. Aku kembali merasakan surga.
Pantai Ya Nui |
“Nice beach eh?” Tiba-tiba seorang pria bule paruh baya datang menghampir kami dan
menyapa ramah. “Yes it is beautiful.
Heaven!” Jawabku sepakat. Selanjutnya kami terlibat perbincangan yang cukup
menyenangkan dengan orang itu. Pria itu asalnya dari Perancis. Alain
namanya. Cukup gagah untuk orang paruh
baya. Masih terlihat segar, meski rambutnya sudah penuh uban. “Ahh From Indonesia! Yayaya…” Alain
mengangguk-anggukan kepala ketika mengetahui kami berasal dari Indonesia.
Alain kemudian bercerita, setelah pensiun, dia pergi ke Phuket.
Seketika Alain jatuh cinta dengan Phuket dan kemudian memutuskan untuk membeli
rumah di sana.
Bahkan akhirnya dia menikahi wanita setempat.
Sudah lebih dari dua tahun ia tinggal di Phuket. Tepatnya di bagian
selatan. Menurutnya Phuket selatan sangat ideal untuk menikmati hari tuanya.
Tenang. Damai. Jauh dari keramaian. Jauh dari hingar bingar. Tidak seperti
daerah Patong.
“When I was in France, I’m
working as a Finance Consultant. I’m handling so many football players. If you
know big names in football like Mario Yepes or Jeremy Toulalan, they were my
clients.” Dengan semangat Alain bercerita.
Tak menyangka, di Pantai Ya Nui yang sepi, aku bertemu dengan orang
yang dulunya pernah berurusan dengan pemain sepakbola top. Bagiku sebagai orang
yang menggilai sepakbola hal itu sangat menyenangkan.
“Hey Alain, what is Europe looks like? Which part of Europe
has the most beautiful place?” Tanyaku penasaran
kepada Alain. “France of course! hahaha” Alain
tertawa. “You should go to Paris. It’s beautiful. Italy also had
great city. Netherlands, Norway aren’t
bad either.” Tambahnya.
Alain kemudian melanjutkan ceritanya. Ia bercerita tentang
pengalamannya menjelajah Eropa. Menurutnya sekarang lebih mudah keliling Eropa,
apalagi dengan banyaknya pesawat low cost
carrier dan kereta api. Semua itu membuat Eropa mudah untuk dijelajahi. Ia
bercerita tentang indahnya kota-kota di Perancis, Italia dan yang lainnya.
Walaupun tak banyak daerah di Eropa yang ia ceritakan, tapi itu cukup membuat
kami teracuni dan ingin pergi ke sana.
Alain belum bosan bercerita. Perbincangan terus berlanjut. “I rarely see Indonesian people in Europe,
or even here in Asia. Are you Indonesian do
not like traveling?” Alain sedikit bingung. Kami menjelaskan kepadanya,
orang Indonesia
itu bukannya tidak suka jalan-jalan. Masalah yang terbesar adalah jatah cuti.
Di Indonesia rata-rata cuti yang boleh diambil setahun adalah dua belas hari. “What? Only twelve days? That sucks”
Alain terheran-heran. Di Eropa atauapun di Amerika cuti setahun bisa sampai
tiga puluh hari atau bahkan empat puluh hari setahun. Banyaknya jumlah jatah
cuti mereka selalu bikin aku iri.
“Enjoy your day! Have great
one! Nice talking to you” Setelah berbincang cukup
lama, Alain akhirnya pamit. Selalu menyenangkan berbicara dengan orang asing. Ada saja cerita yang bisa
didapat. Ada
saja pengalaman baru yang bisa diperoleh.
Hari sudah semakin siang. Kami harus melanjutkan perjalanan.
Berjarak sekitar sepuluh menit dari Ya Nui, kami akhirnya tiba di Promthep Cape.
Promthep Cape adalah sebuah tanjung. Daratan yang menjorok ke laut dan
dikelilingi oleh laut diketiga sisinya. Letaknya di atas bukit. Dari atas kami
bisa melihat lautan lepas yang luas. Promthep dipenuhi oleh pohon-pohon palem
yang tumbuh menjulang tinggi. Angin di sana
cukup kencang. Di sana
juga sangat panas. Matahari terasa sangat dekat di atas kepala. Sangat efektif
untuk menggelapkan kulit.
Promthep Cape adalah sebuah objek wisata yang cukup komersil, meski saat itu kami
tak harus membayar masuk. Di sana kami melihat
ada sebuah museum, entah apa isinya karena kami kurang tertarik masuk ke sana. Di sana juga terdapat banyak patung gajah yang
berwarna warni.
Menurut plang besar yang terdapat pada pintu masuk objek wisata ini,
Promthep Cape paling pas dikunjungi pada saat
menjelang matahari terbenam. Konon pemandangan sunset di sana adalah salah satu yang terbaik di Thailand.
Promthep Cape |
Karena panas yang makin menggila, dan di sana tak ada tempat bersantai yang nyaman,
kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Kami terus berjalan ke
arah selatan.
Tak jauh dari sana,
kami menemukan sebuah pantai lagi. Pantainya cukup teduh, ditumbuhi oleh pohon
besar berdaun hijau. Kuparkir skuterku dan kemudian duduk sejenak di pantai itu
beristirahat.
Pantai itu bernama Rawai. Pantainya tidak landai. Jaraknya dengan
jalan raya sangat dekat. Pantainya cukup sepi, walupun di sekitar parkiran ada
orang berjualan. Pantai itu cukup cantik. Warna biru lautnya sangat menyejukan
mata. Warna pasirnya mirip dengan di Ya Nui, krem kemerahmudaan. Di sana banyak perahu yang
menepi. Dari perahu kayu, perahu motor hingga speedboat ada di sana.
Di sebelah kiri terlihat sebuah dermaga yang sangat panjang. Kombinasi semuanya
sangat sedap dipandang mata. Satu lagi kutemukan pantai yang indah.
Kemudian kami meninggalkan pantai dan menuju dermaga. Dermaga itu
ramai dikunjungi. Sepertinya memang berfungsi sebagai objek wisata. Dermaga itu
cukup panjang, panjangnya hingga ke tengah lautan hampir menggapai pulau kecil
yang ada di depannya.
Pantai Rawai |
Merasa sudah puas dan hari semakin siang, kami memutuskan untuk
meninggalkan Rawai. Kami. menuju daerah Kata-Karon. Karena pantai Kata sudah
dikunjungi, maka aku dan Risty sepakat untuk makan siang di daerah Karon.
Beratapkan langit cerah yang kaya akan sinar matahari, aku memacu
skuterku dengan santai, sambil menikmati indahnya hari.
Naik skuter keliling Phuket bagian selatan adalah salah satu
kegiatan yang paling aku nikmati selama menjelajah Phuket. Sangat mengasyikan.
Kondisi jalannya, pemandangannya, cuacanya, semuanya sempurna untuk berkendara.
Tiga puluh menit kemudian kami tiba di Karon. Sebelum berkunjung ke
pantai, kami singgah di sebuah restoran untuk makan siang. Lagi-lagi memesan
makanan barat. Sebuah burger dan fish and
chips menjadi menu pilihan kami. Setelah nafsu makan kami terpenuhi, kami
segera menyebrang untuk menengok pantai Karon.
Pantai Karon adalah pantai komersil yang cukup tenar. Pantai ini
selalu ramai pengunjung. Walau tidak sepopuler Patong, namun pantai ini jauh
lebih indah. Lautnya lebih biru, lebih bersih. Pantainya lebih landai.
Pemandangan sekitarnya juga jauh lebih menyegarkan ketimbang Patong. Untuk
ukuran pantai komersil, menurutku Pantai Karon adalah salah satu yang terbaik.
Karena waktu sudah tidak memungkinkan lagi, kami harus menyudahi
kunjungan kami. Pantai Karon adalah tempat terakhir yang kami kunjungi selama
di Phuket. Selanjutnya kami kembali ke hostel, mengembalikan skuter, mengambil
tas kami dan menunggu jemputan menuju ke bandara. Tak lama kemudian sebuah
minibus menjemput kami dan mengantarkan kami ke bandara, sekaligus mengakhiri
petualangan kami di Phuket selama empat hari.
8. Kesan
Meriahnya Patong dan damainya Phi-Phi berhasil membuat stress
terobati. Indahnya Maya Bay dan sensasi bermalam di sana akan selalu terekam di
memori. Kecantikan pantai selatan Phuket, dari Ya Nui hingga Rawai sangat
mengesankan dan tak akan terlupakan. Dari Patong hingga Karon kujelajahi.
Keindahan Phuket akan selalu berkesan di hati.
Kini aku tahu mengapa Phuket banyak dikunjungi. Kini aku tahu
mengapa Phuket banyak diminati. Kini aku tahu, ada banyak surga di selatan
Thailand, di sebuah provinsi bernama Phuket.
Salam
jalan-jalan,
Rifel