Thursday, April 25, 2013

Sehari di Makassar

 
MAKASSAR


Pukul setengah sembilan pagi, saya dan Risty, pacar saya, tiba di Bandara Internasional Sultan Hassanudin Makassar dari Ambon. Kami punya setidaknya satu hari untuk menikmati ibukota Sulawesi Selatan itu sebelum kembali ke Jakarta. Tak pernah terbayang dalam benak saya sebelumnya, seperti apa Makassar itu. Ini adalah untuk kali pertama saya mengunjungi kota yang juga dikenal dengan nama Ujung Pandang.

Makassar sebenarnya tidak terlalu menarik buat saya. Namun berhubung saya beruntung berhasil mendapat tiket pesawat promo pulang-pergi seharga Rp. 10.000,- maka tidak ada salahnya berkunjung ke sana. Lumayan, untuk menambah jam terbang dan pengalaman.

Tempat pertama yang saya injak di sana, tentu saja Bandara Internasional Hassanudin yang ternyata cukup mengejutkan saya. Bandara ini cukup megah dan canggih, bahkan ada bagian-bagian yang lebih bagus dari Bandara Soekarno Hatta. Bangunannya sudah lebih modern dan sangat pantas dibilang Bandara Internasional. Ternyata Makassar telah berkembang pesat. Kota ini rupanya sudah maju, setidaknya dari Bandaranya. 

Pagi itu, Makassar diguyur hujan. Tidak terlalu deras, namun tahan lama dan awet. Menurut petugas Damri yang bertugas, hujan telah berlangsung lama dan menyebabkan banjir di sekitar kota, sehingga bus Damri yang seharusnya sudah tiba di bandara, datang terlambat. Satu jam lamanya kami dibuat menunggu, sampai akhirnya bus itu tiba.

Tujuan kami yang pertama adalah Jl. Sam Ratulangi, mengunjungi sebuah kantor cabang perusahaan asuransi tempat Risty bekerja dengan maksud menitipkan barang dan tas ransel yang berat. Hujan masih mengguyur ketika bus itu mulai berjalan.

Tak lama keluar dari bandara, kemacetan mulai menghambat kami. Mungkin karena hujan dan banjir sehingga air yang menggenangi beberapa ruas jalan di kota menghambat lalu lintas. Kemacetan sungguh bukan hal yang ingin ditemui, apalagi pada saat liburan. Ternyata di Makassar mirip dengan Jakarta. Saat hujan, jalanan otomatis jadi macet, padahal saat itu hari Sabtu. Hari dimana seharusnya jalanan sedang lancar-lancarnya, namun kenyataannya tidak demikian. 

Tak ada yang bisa saya lakukan untuk mengurangi kemacetan, selain menikmatinya. Perlahan-lahan bus mulai membawa kami mendekat ke pusat kota. Di sebuah jalan saya melihat sebuah patung ayam jantan raksasa yang berdiri dengan gagah. Ya, Makassar memang terkenal dengan pahlawan nasionalnya, Sultan Hassanudin yang dijuluki ayam jantan dari timur, sehingga tak heran jika ada patung semacam itu di sana.

Ruko-ruko, gedung perkantoran, restoran, mini market, dan bangunan usaha lain yang menjamur membuat saya terkejut. Banyaknya bangunan tersebut menandakan perekonomian di kota ini meningkat dan telah berkembang pesat. 

Hampir dua jam yang kami butuhkan untuk mencapai tempat tujuan. Setelah bertemu dengan salah satu pegawai dan sedikit berbasa basi di sana, kami ingin segera melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian datanglah sopir kantor yang baru saja  mengantar tamu ke bandara. Hari itu kami beruntung, sopir itu punya waktu luang dan bersedia mengantar kami keliling Makassar. 

Pak Ruslan nama sopir itu. Badannya kurus, rambutnya hitam mulai beruban, kumisnya tebal, terlihat masih segar walau dari penampilannya terlihat kalau bapak ini usianya sudah tidak muda lagi. 

Karena saat itu jam makan siang, maka tugas pertama Pak Ruslan adalah mengantar kami mencari tempat makan. Risty menganjurkan agar kami makan pallubasa, makanan khas Makassar yang letaknya tak jauh dari kantor itu dan menurutnya masakan di sana sangat lezat. Mobil yang dibawa Pak Ruslan pun akhirnya meluncur menuju ke sana. 

Sesampainya di sana, tempat itu penuh oleh antrian manusia yang kelaparan yang dengan sabarnya menunggu mendapatkan meja kosong. Palbas Serigala, begitu nama warung makan itu. Tidak, mereka tidak menjual daging serigala. Itu hanya namanya saja karena tempat itu terletak di jalan serigala atau mungkin sengaja dinamakan demikian agar terkesan lebih garang. Entahlah.

Mereka menjual makanan bernama pallubasa, sebuah menu makanan yang berisikan potongan-potongan daging sapi (bisa ditambah jeroan jika mau) yang terendam dalam kuah berwarna coklat bercampur santan dan kelapa sangrai ditambah dengan telur cair yang entah itu matang atau setengah matang, yang jelas telurnya cair dan kuningnya terlihat mengkilat, menyembul ke permukaan kuah. Sekilas dari bentuk dan warnanya, makanan ini terlihat seperti rawon. 

Dari bentuknya mungkin makanan ini kurang menarik, namun tidak demikian dengan rasanya. Aroma kuahnya sedap, dagingnya empuk, kuahnya segar, apalagi jika ditambah sambalnya yang cukup pedas serta disempurnakan dengan rasa telur yang enak dan disajikan dengan sepiring nasi panas. Pallubasa ini benar-benar lezat dan sanggup membahagiakan lidah. Disamping itu, harganya juga bersahabat dengan dompet, dan tentu saja akan menjadi tempat makan rekomendasi saya untuk siapapun yang sedang berada di Makassar.

Tak tahu mau kemana, kami bertanya kepada Pak Ruslan, yang seumur hidupnya tinggal di Makassar dan seharusnya tahu tempat-tempat mana yang layak dikunjungi. "Kita ke Tanjung Bunga saja. Di sana bagus." Ujar Pak Ruslan coba meyakinkan dengan logat Makassarnya yang kental. Saya dan Risty sepakat, Tanjung Bunga  adalah tujuan kami berikutnya. Tanjung Bunga dalam bayangan saya waktu itu adalah taman yang penuh dengan bunga atau tanaman lainya, tapi ternyata saya salah.

Mobil yang kami tumpangi diarahkan oleh Pak Ruslan menuju tepi laut yang warnanya bukan biru, hijau, hitam, atau coklat. Entah apa warna laut itu, yang pasti kotor dan tidak menarik. Dan rupanya Tanjung Bunga adalah kawasan pantai komersial yang mirip dengan Ancol. Kami pun masuk dan dikenakan biaya per kepala Rp.10.000,- dan tambahan Rp 5.000,- untuk mobil. Benar-benar seperti masuk Ancol. 

Lalu apakah ada yang menarik di Tanjung Bunga? Oh, sama sekali tidak. Di sana cuma banyak terdapat restoran yang menghadap ke laut yang sama sekali tidak ada unsur keindahannya. Sama sekali tidak mempunyai daya tarik. Mungkin di sana, ikan saja enggan bertelur. Kami pun hanya masuk, bayar dan langsung keluar. Rp 35.000,- terbuang percuma begitu saja. Sial, padahal uang sejumlah itu setara dengan 2 mangkok pallubasa yang lebih bermanfaat buat saya. 

Kecewa dengan Tanjung Bunga, kami ingin segera mengobatinya dengan berkunjung ke tempat lain. Karena tak ada orang yang bisa ditanya, jadi hanya Pak Ruslan yang dapat diandalkan. Dan tadi dia telah membawa kami ke sebuah tempat yang sama sekali tidak punya daya tarik. Sekarang kami hanya bisa pasrah. Terserah mau dibawa kemana. Semoga kali ini rekomendasinya sesuai harapan.

"Bagaimana kalau kita ke Gowa? Di sana banyak rumah-rumah adat dan ada juga beberapa Tongkonan, rumah khas Toraja." Saran Pak Ruslan. Oke, sepertinya kali ini sarannya jauh lebih menarik. Mobil pun mengarah ke Gowa, melewati Trans Studio, sebuah mal besar dan taman air besar persis dengan apa yang ada di Jakarta. Sungguh pesat perkembangan kota Makassar ini. Mungkin tak lama lagi kota ini bisa menyerupai Jakarta.

Setelah melewati beberapa perkampungan dan jalan yang rusak, kami tiba di Gowa. Tempat ini merupakan kompleks miniatur rumah-rumah adat di Sulawesi Selatan, seperti di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, hanya saja tak terawat dan terkesan ditelantarkan. Di sana ada beberapa Tongkonan, rumah khas suku Toraja yang cukup menarik. Selain itu juga ada panggung kayu (rumah adat tradisonal suku Bugis) dan rumah-rumah tradisional laiinya. 

Benteng Somba Opu juga terdapat di sana. Benteng ini terlihat tinggal reruntuhannya saja. Tak terlihat seperti benteng yang kokoh seperti kebanyakan benteng lainnya.  Bangunannya menyisakan dinding bata yang penuh dengan lumut yang sepertinya telah lama tertimbun tanah. 

Tak mau membuang waktu, kami segera melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya : Pantai Losari, sebuah pantai tenar di Makassar yang dengan gencar dipromosikan oleh dinas pariwisata setempat. Saya pun cukup penasaran. Apa sih bagusnya pantai itu? Tak lama kemudian, rasa penasaran saya terungkap. 

Dipayungi oleh teriknya matahari yang panasnya keterlaluan serta menyengat hingga membuat kepala pening, saya berjalan-jalan di sekitar Pantai Losari. Pantai ini tidak ada bedanya dengan pantai Ancol. Sebelas dua belas. Bahkan lebih mirip dengan kali Ciliwung yang penuh dengan sampah. Kotor dan tak sedap dipandang mata. Inikah pantai yang digembar-gemborkan itu? Yang dipromosikan dengan gencar? yang katanya tempat yang indah? Ah, ternyata promosi itu berlebihan. 

Bagi saya Pantai Losari adalah pantai yang buruk. Mungkin saya berkunjung pada jam yang salah. Mungkin seharusnya saya berkunjung pada saat matahari mau terbenam, mungkin akan terlihat lebih bagus karena langit sudah gelap sehingga kotoran-kotoran yang mengapung di lautan tidak terlalu kelihatan, terselebung oleh redupnya senja. Tapi tetap saja, saya tidak suka dengan pantai itu.

Karena panas yang begitu menyengat dan tak ada apapun yang dapat dinikmati di sana, kami segera meninggalkan Losari yang terkenal itu. Kami menuju Fort Rotterdam, benteng bersejarah peninggalan Belanda yang letaknya tak jauh dari Losari. 

Tidak ada yang istimewa dari bangunan itu selain nilai sejarahnya. Bahkan tempat itu lebih mirip dengan penjara dari pada sebuah benteng. Konon katanya, benteng yang pernah menjadi tempat pengasingan Pangeran Diponegoro itu, jika dilihat dari atas akan menyerupai seekor penyu, namun saya tidak bisa benar-benar melihatnya, mungkin harus naik helikopter baru kelihatan. 

Makassar sejauh ini kurang menghibur saya. Belum ada tempat istimewa yang berkesan. Sejauh ini mengecewakan. Harapan saya selanjutnya adalah Taman Nasional Bantimurung, yang terletak di Maros, kurang lebih satu setengah jam dari Makassar.

Perjalanan panjang pun dimulai. Pak Ruslan membawa kami melewati jalan nusantara di dekat pelabuhan yang penuh dengan bar, karaoke dan tempat hiburan malam lainnya.  Daerah ini adalah Red Light District-nya Makassar yang pasti akan lebih meriah saat malam. 

Mobil kemudian memasuki jalan tol yang cukup panjang. Saya pun tertidur. Beberapa saat kemudian saya terbangun. Suara siulan yang fals menggangu kuping saya. Ternyata Pak Ruslan yang bersiul, menirukan lagu yang diputar di radio. Untungnya dia tidak bernyanyi. Siulannya saja fals, entah apa jadinya jika dia bernyanyi.  

Ketika saya terbangun, saya telah sampai di sebuah daerah yang penuh oleh karst-karst besar yang membentang di sepanjang kiri jalan. Dari kejauhan, karst itu bentuknya seperti batu raksasa yang penuh dengan lumut. Konon gugusan karst di daerah Maros ini adalah salah satu yang terluas di dunia dan termasuk dalam nominasi UNESCO World Heritage.

Selang beberapa menit kemudian, kami tiba di Taman Nasional Bantimurung. Kata Pak Ruslan, Bantimurung artinya membuang murung. Jadi tempat itu semacam tempat pembunuh stress dan seharusnya berada di sana dapat membuat bahagia. Pak Ruslan juga menceritakan, di Bantimurung ada penangkaran kupu-kupu dan harus dikunjungi.

Awalnya, benar murung saya rasanya benar-benar terbanting. Murung saya remuk oleh suasana alam yang segar. Udara yang sejuk serta dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi dan berbagai pohon hijau, membuat saya merasa lebih dekat dengan alam.

Namun, suara musik dangdut dengan volume maksimal yang keluar dari pengeras suara benar-benar merusak semuanya. Bagaimana mungkin di tempat yang seharusnya kita bisa menikmati alam dengan tenang, malah dibuat pentas dangdut oleh sebuah produsen minuman ringan yang tak tahu diri mempromosikan produknya dengan memasang panggung dangdut di tengah taman. Sungguh sebuah hal yang menjengkelkan. 

Suara musik dangdut yang beradu dengan derasnya deru air terjun sangat mengganggu ketenangan alam. Lagi-lagi Makassar mengecewakan saya. Diiringi lagu dangdut yang malah jadi membuat murung, saya dan Risty berjalan menuju penangkaran kupu-kupu. Kurang beruntung, kami terlambat. Kami tidak bisa melihat kupu-kupu itu karena mereka sudah tidur. 

Air terjun Bantimurung adalah harapan terakhir kami. Semoga air terjunnya bagus, saya berharap. Namun lagi-lagi harapan saya tidak sesuai dengan kenyataan. Air terjunnya tidak terlalu tinggi, airnya sangat deras mengalir. Yang membuat saya kecewa adalah warna airnya yang coklat keruh. Kotor. Sama seperti kali-kali di Jakarta. Satu-satunya yang indah di sana adalah hadirnya pelangi yang melintasi air terjun. Selain itu biasa saja.

Taman dan air terjun ini sebenarnya cukup bagus. Seandainya saja air terjunnya bersih, berwarna biru atau setidaknya airnya jernih tak bercampur tanah, pasti akan terlihat lebih menarik. Taman ini sangat terasa dikelola dengan kurang baik. Apalagi masalah kenyamanan dan kebersihan yang masih sangat kurang diperhatikan. Mungkin dinas pariwisata setempat harus belajar dari orang Jepang tentang bagaimana cara mengelola taman, atau tempat wisata yang baik.

Pupus sudah harapan saya untuk melihat sesuatu yang istimewa di Makassar. Bantimurung adalah objek wisata terakhir yang kami kunjungi. Dengan waktu yang tersisa, tak ada lagi objek wisata yang bisa kami nikmati.

Kami segera kembali ke pusat kota Makassar, karena hari sudah menjelang malam. Untuk menghibur diri, kami minta diantar oleh Pak Ruslan ke sebuah restoran yang punya menu khas Makassar yang lezat. Pak Ruslan akhirnya mengantar kami ke restoran Karebosi sekaligus berpisah karena dia harus segera pulang. 

Terima kasih kami ucapkan untuk Pak Ruslan. Meskipun telah menyesatkan kami ke Tanjung Bunga yang sama sekali tidak menarik, dan sering bersiul-siul dengan falsnya, tapi tanpa bantuannya kami tidak bisa mengunjungi banyak di tempat di Makassar hanya dengan waktu singkat. Semoga Tuhan memberkati Anda, Pak Ruslan.

Kembali ke restoran, kami memesan menu andalan restoran itu, sop konro dengan iga bakar. Iga bakarnya berbumbu kacang seperti bumbu sate, dagingnya lembut, tidak keras dan bumbunya meresap dengan sempurna. Dipadukan dengan kuah sop yang segar dan sepiring nasi, menjadikan sop konro Karebosi ini menu lezat yang istimewa dan wajib untuk dicicipi siapa saja.

Itulah petualangan saya di Makassar kurang lebih sehari. Saya cukup kagum dengan kemajuan pesat kota ini. Saya rasa kota ini punya prospek yang cerah untuk menjadi kota metropolitan selain Jakarta. Namun saya tidak suka dengan cuaca panasnya yang keterlaluan. Objek-objek wisatanya juga mengecewakan, tak ada yang sesuai dengan selera. Namun, untuk urusan makanan dan kuliner, Makassar tidak mengecewakan dan membuktikan sebagai salah satu yang terbaik di negeri ini.

#CeritaMaluku : Ambon, Sebuah Kota yang Manis

Kota Ambon

Begitu mendengar kata "Ambon", maka kata selanjutnya yang terpikir dalam benak saya adalah "Manise". Ambon Manise, begitu orang-orang menyebut ibukota Maluku itu. Ambon memang manis, setidaknya itu yang saya rasakan ketika berkunjung ke kota yang sebagian besar daratannya dikepung oleh lautan, Januari yang lalu.

Kemanisan Ambon dapat seketika terasa saat melihat para warganya tersenyum. Ya, mereka terlihat sangat manis saat  meregangkan bibir melebar hingga memamerkan deretan gigi-gigi putih mereka. Senyum mereka luar biasa manis, memancarkan keceriaan dan keramahan dan sanggup menularkan kebahagiaan. Keramahan mereka membuat saya merasa nyaman dan damai, rasanya seperti di rumah.

Hal ini sangat berlawanan dengan di Jakarta, di mana kata "Ambon" dikonotasikan dengan sesuatu yang menyeramkan, mengerikan dan hal negatif lainnya. Di Jakarta, Ambon identik dengan preman, tindak kriminal dan hal-hal jelek lainnya. Karena image negatif itu, bertemu dengan orang Ambon di Jakarta mungkin adalah sesuatu yang ingin dihindari oleh sebagian banyak orang. Sangat disayangkan memang, padahal di daerah asalnya warga Ambon adalah orang-orang yang ramah, baik dan punya rasa kekeluargaan tinggi.

Ambon adalah sebuah kota kecil yang penuh dengan daya tarik dan keunikan. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menikmati kota yang belum punya jalur kereta dan jalan tol ini. Yang pertama tentunya dengan berkeliling kota. Ambon adalah sebuah kota kecil, yang bisa diputari dengan sekejap. Di Ambon, mungkin langit menjadi bagian bumi yang paling bahagia, karena di sana tidak ada gedung-gedung megah yang mencakarnya. Bangunan paling mewah dan megah di kota Ambon adalah kantor Gubernur yang kira-kira tingginya tidak lebih dari sepuluh lantai. 

Bangunan yang mendominasi Ambon adalah Gereja dan Mesjid yang sangat banyak jumlahnya dan tidak sedikit yang letaknya berdampingan. Ini menjadi simbol bahwa di Ambon, warganya dapat hidup berdampingan dengan segala perbedaan, meskipun mereka sempat terprovokasi dan mengakibatkan kerusuhaan besar pada tahun 1999 yang lalu. 

Jika Anda mulai lelah dan ingin duduk santai sejenak untuk sekedar minum kopi, berkunjunglah ke Sibu-Sibu Cafe. Sekilas kedai ini hanya seperti kedai kopi biasa pada umumnya, namun atmosfir dan nuansa Ambon yang kental membuatnya menjadi kedai kopi yang spesial.

Dinding kedai itu penuh sesak oleh foto-foto putra-putri terbaik Maluku (baik yang asli maupun keturunan) yang berprestasi. Hampir semua foto musisi dalam negeri bahkan luar negeri asal Ambon tergantung di sana. Wajah-wajah seperti Broery Pesolima, Ruth Sahanya, Gelnn Fredly, Daniel Sahuleka, Giovanni van Bronchorst dan banyak atlet, artis, dan model asal Belanda keturunan Maluku menghiasi dinding kedai itu.

Menunya yang ditawarkan pun istimewa. Kopi rarobang dan kopi areng yang ditaburi kenari gurih adalah sesuatu yang wajib dicicipi oleh peminum kopi. Mereka juga menyediakan makanan khas Indonesia Timur seperti pulut unti, lopis pulut, nasi kelapa dan masih banyak lagi. Favorit saya adalah roti panggangnya yang dilumeri telur dan dipanggang dengan sempurna, sangat pas untuk menemani sore. 

Hal lain yang harus dinikmati dari Ambon sudah pasti adalah pantainya. Ambon memiliki banyak pantai dengan kualitas pemandangan seindah surga dan belum banyak dijamah manusia.

Pantai Natsepa salah satunya. Pantai yang berjarak kurang lebih 20 menit dari pusat kota Ambon ini adalah sebuah pantai komersil yang terbuka untuk umum. Airnya jernih, pasirnya putih, tenang dan cocok untuk berenang atau sekedar berkecipak kecipuk main air di pinggir pantai. Namun hal yang paling asik untuk dinikmati di Natsepa adalah makan rujak. Rujak? Di Ambon? Ya, rujak Ambon, khususnya yang dijual di sepanjang Natsepa adalah rujak yang sangat enak. Buahnya segar, bumbunya kental meresap hingga ke lapisan dalam buah, disertai dengan potongan kacang yang kasar membuat rujak ini punya kualitas istimewa. 

Pantai Natsepa

Hampir setengah jam dari Natsepa, Anda bisa menemukan sebuah pantai dengan keindahan yang luar biasa. Pantai Liang namanya. Pantai yang panjang membentang ini begitu indah, terutama warna biru lautnya yang sangat menyegarkan mata dan bahkan sanggup menghapus dahaga tanpa harus meminumnya. Pantai Liang adalah pantai dambaan semua penikmat pantai. Sebuah pantai mewah yang belum banyak terjamah dan wajib untuk dikunjungi.

Tak jauh dari Liang, jika Anda suka dengan aktivitas bawah laut, maka Anda bisa main ke Pulau Pombo. Di sekitar Pulau itu, pemandangan alam bawah lautnya tak kalah indahnya dengan tempat lain di Indonesia bahkan di dunia. Menurut David dan Jana, dua orang kenalan saya asal Eropa yang tinggal di Ambon dan punya banyak pengalaman menyelam di seluruh dunia, alam bawah laut Pulau Pombo adalah salah satu yang terbaik.

Banyak pantai lain yang bisa dikunjungi di Ambon. Pantai Santai, Pantai Pintu Kota, Pantai Hukurila dan pantai lainnya yang belum sempat saya kunjungi dan saya yakin punya pesona dan keunikan sendiri.

Untuk menutup hari, tak ada yang lebih sempurna dengan makan malam hidangan laut. Dan pilihan saya ketika itu adalah Rumah Makan Dedes di Ambon, yang terletak di jalan Sultan Babullah, tak jauh dari Mesjid Raya Al-Fatah, Mesjid terbesar di Ambon. Rumah Makan Dedes menyajikan berbagai macam hidangan laut yang segar, dimana Anda bisa memilih sendiri ikannya. Menu favorit saya adalah Ikan sikuda goreng kering yang disajikan dengan 5 jenis pilihan sambal. Rasa ikannya segar, gorengannya garing dan tidak berminyak, ditambah dengan sambal dabu-dabu, sambal merah dan sambal kacang menu ini menjadi menu spesial yang sanggup menghibur lidah. 

Ambon itu memang cantik, menawan, menarik dan punya sejuta pesona. Kini saya tahu mengapa kata "Manise" selalu menempel setelah kata Ambon. Ambon memang sebuah kota yang indah, kota yang menyenangkan, kota yang manis.