Thursday, April 25, 2013

Sehari di Makassar

 
MAKASSAR


Pukul setengah sembilan pagi, saya dan Risty, pacar saya, tiba di Bandara Internasional Sultan Hassanudin Makassar dari Ambon. Kami punya setidaknya satu hari untuk menikmati ibukota Sulawesi Selatan itu sebelum kembali ke Jakarta. Tak pernah terbayang dalam benak saya sebelumnya, seperti apa Makassar itu. Ini adalah untuk kali pertama saya mengunjungi kota yang juga dikenal dengan nama Ujung Pandang.

Makassar sebenarnya tidak terlalu menarik buat saya. Namun berhubung saya beruntung berhasil mendapat tiket pesawat promo pulang-pergi seharga Rp. 10.000,- maka tidak ada salahnya berkunjung ke sana. Lumayan, untuk menambah jam terbang dan pengalaman.

Tempat pertama yang saya injak di sana, tentu saja Bandara Internasional Hassanudin yang ternyata cukup mengejutkan saya. Bandara ini cukup megah dan canggih, bahkan ada bagian-bagian yang lebih bagus dari Bandara Soekarno Hatta. Bangunannya sudah lebih modern dan sangat pantas dibilang Bandara Internasional. Ternyata Makassar telah berkembang pesat. Kota ini rupanya sudah maju, setidaknya dari Bandaranya. 

Pagi itu, Makassar diguyur hujan. Tidak terlalu deras, namun tahan lama dan awet. Menurut petugas Damri yang bertugas, hujan telah berlangsung lama dan menyebabkan banjir di sekitar kota, sehingga bus Damri yang seharusnya sudah tiba di bandara, datang terlambat. Satu jam lamanya kami dibuat menunggu, sampai akhirnya bus itu tiba.

Tujuan kami yang pertama adalah Jl. Sam Ratulangi, mengunjungi sebuah kantor cabang perusahaan asuransi tempat Risty bekerja dengan maksud menitipkan barang dan tas ransel yang berat. Hujan masih mengguyur ketika bus itu mulai berjalan.

Tak lama keluar dari bandara, kemacetan mulai menghambat kami. Mungkin karena hujan dan banjir sehingga air yang menggenangi beberapa ruas jalan di kota menghambat lalu lintas. Kemacetan sungguh bukan hal yang ingin ditemui, apalagi pada saat liburan. Ternyata di Makassar mirip dengan Jakarta. Saat hujan, jalanan otomatis jadi macet, padahal saat itu hari Sabtu. Hari dimana seharusnya jalanan sedang lancar-lancarnya, namun kenyataannya tidak demikian. 

Tak ada yang bisa saya lakukan untuk mengurangi kemacetan, selain menikmatinya. Perlahan-lahan bus mulai membawa kami mendekat ke pusat kota. Di sebuah jalan saya melihat sebuah patung ayam jantan raksasa yang berdiri dengan gagah. Ya, Makassar memang terkenal dengan pahlawan nasionalnya, Sultan Hassanudin yang dijuluki ayam jantan dari timur, sehingga tak heran jika ada patung semacam itu di sana.

Ruko-ruko, gedung perkantoran, restoran, mini market, dan bangunan usaha lain yang menjamur membuat saya terkejut. Banyaknya bangunan tersebut menandakan perekonomian di kota ini meningkat dan telah berkembang pesat. 

Hampir dua jam yang kami butuhkan untuk mencapai tempat tujuan. Setelah bertemu dengan salah satu pegawai dan sedikit berbasa basi di sana, kami ingin segera melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian datanglah sopir kantor yang baru saja  mengantar tamu ke bandara. Hari itu kami beruntung, sopir itu punya waktu luang dan bersedia mengantar kami keliling Makassar. 

Pak Ruslan nama sopir itu. Badannya kurus, rambutnya hitam mulai beruban, kumisnya tebal, terlihat masih segar walau dari penampilannya terlihat kalau bapak ini usianya sudah tidak muda lagi. 

Karena saat itu jam makan siang, maka tugas pertama Pak Ruslan adalah mengantar kami mencari tempat makan. Risty menganjurkan agar kami makan pallubasa, makanan khas Makassar yang letaknya tak jauh dari kantor itu dan menurutnya masakan di sana sangat lezat. Mobil yang dibawa Pak Ruslan pun akhirnya meluncur menuju ke sana. 

Sesampainya di sana, tempat itu penuh oleh antrian manusia yang kelaparan yang dengan sabarnya menunggu mendapatkan meja kosong. Palbas Serigala, begitu nama warung makan itu. Tidak, mereka tidak menjual daging serigala. Itu hanya namanya saja karena tempat itu terletak di jalan serigala atau mungkin sengaja dinamakan demikian agar terkesan lebih garang. Entahlah.

Mereka menjual makanan bernama pallubasa, sebuah menu makanan yang berisikan potongan-potongan daging sapi (bisa ditambah jeroan jika mau) yang terendam dalam kuah berwarna coklat bercampur santan dan kelapa sangrai ditambah dengan telur cair yang entah itu matang atau setengah matang, yang jelas telurnya cair dan kuningnya terlihat mengkilat, menyembul ke permukaan kuah. Sekilas dari bentuk dan warnanya, makanan ini terlihat seperti rawon. 

Dari bentuknya mungkin makanan ini kurang menarik, namun tidak demikian dengan rasanya. Aroma kuahnya sedap, dagingnya empuk, kuahnya segar, apalagi jika ditambah sambalnya yang cukup pedas serta disempurnakan dengan rasa telur yang enak dan disajikan dengan sepiring nasi panas. Pallubasa ini benar-benar lezat dan sanggup membahagiakan lidah. Disamping itu, harganya juga bersahabat dengan dompet, dan tentu saja akan menjadi tempat makan rekomendasi saya untuk siapapun yang sedang berada di Makassar.

Tak tahu mau kemana, kami bertanya kepada Pak Ruslan, yang seumur hidupnya tinggal di Makassar dan seharusnya tahu tempat-tempat mana yang layak dikunjungi. "Kita ke Tanjung Bunga saja. Di sana bagus." Ujar Pak Ruslan coba meyakinkan dengan logat Makassarnya yang kental. Saya dan Risty sepakat, Tanjung Bunga  adalah tujuan kami berikutnya. Tanjung Bunga dalam bayangan saya waktu itu adalah taman yang penuh dengan bunga atau tanaman lainya, tapi ternyata saya salah.

Mobil yang kami tumpangi diarahkan oleh Pak Ruslan menuju tepi laut yang warnanya bukan biru, hijau, hitam, atau coklat. Entah apa warna laut itu, yang pasti kotor dan tidak menarik. Dan rupanya Tanjung Bunga adalah kawasan pantai komersial yang mirip dengan Ancol. Kami pun masuk dan dikenakan biaya per kepala Rp.10.000,- dan tambahan Rp 5.000,- untuk mobil. Benar-benar seperti masuk Ancol. 

Lalu apakah ada yang menarik di Tanjung Bunga? Oh, sama sekali tidak. Di sana cuma banyak terdapat restoran yang menghadap ke laut yang sama sekali tidak ada unsur keindahannya. Sama sekali tidak mempunyai daya tarik. Mungkin di sana, ikan saja enggan bertelur. Kami pun hanya masuk, bayar dan langsung keluar. Rp 35.000,- terbuang percuma begitu saja. Sial, padahal uang sejumlah itu setara dengan 2 mangkok pallubasa yang lebih bermanfaat buat saya. 

Kecewa dengan Tanjung Bunga, kami ingin segera mengobatinya dengan berkunjung ke tempat lain. Karena tak ada orang yang bisa ditanya, jadi hanya Pak Ruslan yang dapat diandalkan. Dan tadi dia telah membawa kami ke sebuah tempat yang sama sekali tidak punya daya tarik. Sekarang kami hanya bisa pasrah. Terserah mau dibawa kemana. Semoga kali ini rekomendasinya sesuai harapan.

"Bagaimana kalau kita ke Gowa? Di sana banyak rumah-rumah adat dan ada juga beberapa Tongkonan, rumah khas Toraja." Saran Pak Ruslan. Oke, sepertinya kali ini sarannya jauh lebih menarik. Mobil pun mengarah ke Gowa, melewati Trans Studio, sebuah mal besar dan taman air besar persis dengan apa yang ada di Jakarta. Sungguh pesat perkembangan kota Makassar ini. Mungkin tak lama lagi kota ini bisa menyerupai Jakarta.

Setelah melewati beberapa perkampungan dan jalan yang rusak, kami tiba di Gowa. Tempat ini merupakan kompleks miniatur rumah-rumah adat di Sulawesi Selatan, seperti di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, hanya saja tak terawat dan terkesan ditelantarkan. Di sana ada beberapa Tongkonan, rumah khas suku Toraja yang cukup menarik. Selain itu juga ada panggung kayu (rumah adat tradisonal suku Bugis) dan rumah-rumah tradisional laiinya. 

Benteng Somba Opu juga terdapat di sana. Benteng ini terlihat tinggal reruntuhannya saja. Tak terlihat seperti benteng yang kokoh seperti kebanyakan benteng lainnya.  Bangunannya menyisakan dinding bata yang penuh dengan lumut yang sepertinya telah lama tertimbun tanah. 

Tak mau membuang waktu, kami segera melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya : Pantai Losari, sebuah pantai tenar di Makassar yang dengan gencar dipromosikan oleh dinas pariwisata setempat. Saya pun cukup penasaran. Apa sih bagusnya pantai itu? Tak lama kemudian, rasa penasaran saya terungkap. 

Dipayungi oleh teriknya matahari yang panasnya keterlaluan serta menyengat hingga membuat kepala pening, saya berjalan-jalan di sekitar Pantai Losari. Pantai ini tidak ada bedanya dengan pantai Ancol. Sebelas dua belas. Bahkan lebih mirip dengan kali Ciliwung yang penuh dengan sampah. Kotor dan tak sedap dipandang mata. Inikah pantai yang digembar-gemborkan itu? Yang dipromosikan dengan gencar? yang katanya tempat yang indah? Ah, ternyata promosi itu berlebihan. 

Bagi saya Pantai Losari adalah pantai yang buruk. Mungkin saya berkunjung pada jam yang salah. Mungkin seharusnya saya berkunjung pada saat matahari mau terbenam, mungkin akan terlihat lebih bagus karena langit sudah gelap sehingga kotoran-kotoran yang mengapung di lautan tidak terlalu kelihatan, terselebung oleh redupnya senja. Tapi tetap saja, saya tidak suka dengan pantai itu.

Karena panas yang begitu menyengat dan tak ada apapun yang dapat dinikmati di sana, kami segera meninggalkan Losari yang terkenal itu. Kami menuju Fort Rotterdam, benteng bersejarah peninggalan Belanda yang letaknya tak jauh dari Losari. 

Tidak ada yang istimewa dari bangunan itu selain nilai sejarahnya. Bahkan tempat itu lebih mirip dengan penjara dari pada sebuah benteng. Konon katanya, benteng yang pernah menjadi tempat pengasingan Pangeran Diponegoro itu, jika dilihat dari atas akan menyerupai seekor penyu, namun saya tidak bisa benar-benar melihatnya, mungkin harus naik helikopter baru kelihatan. 

Makassar sejauh ini kurang menghibur saya. Belum ada tempat istimewa yang berkesan. Sejauh ini mengecewakan. Harapan saya selanjutnya adalah Taman Nasional Bantimurung, yang terletak di Maros, kurang lebih satu setengah jam dari Makassar.

Perjalanan panjang pun dimulai. Pak Ruslan membawa kami melewati jalan nusantara di dekat pelabuhan yang penuh dengan bar, karaoke dan tempat hiburan malam lainnya.  Daerah ini adalah Red Light District-nya Makassar yang pasti akan lebih meriah saat malam. 

Mobil kemudian memasuki jalan tol yang cukup panjang. Saya pun tertidur. Beberapa saat kemudian saya terbangun. Suara siulan yang fals menggangu kuping saya. Ternyata Pak Ruslan yang bersiul, menirukan lagu yang diputar di radio. Untungnya dia tidak bernyanyi. Siulannya saja fals, entah apa jadinya jika dia bernyanyi.  

Ketika saya terbangun, saya telah sampai di sebuah daerah yang penuh oleh karst-karst besar yang membentang di sepanjang kiri jalan. Dari kejauhan, karst itu bentuknya seperti batu raksasa yang penuh dengan lumut. Konon gugusan karst di daerah Maros ini adalah salah satu yang terluas di dunia dan termasuk dalam nominasi UNESCO World Heritage.

Selang beberapa menit kemudian, kami tiba di Taman Nasional Bantimurung. Kata Pak Ruslan, Bantimurung artinya membuang murung. Jadi tempat itu semacam tempat pembunuh stress dan seharusnya berada di sana dapat membuat bahagia. Pak Ruslan juga menceritakan, di Bantimurung ada penangkaran kupu-kupu dan harus dikunjungi.

Awalnya, benar murung saya rasanya benar-benar terbanting. Murung saya remuk oleh suasana alam yang segar. Udara yang sejuk serta dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi dan berbagai pohon hijau, membuat saya merasa lebih dekat dengan alam.

Namun, suara musik dangdut dengan volume maksimal yang keluar dari pengeras suara benar-benar merusak semuanya. Bagaimana mungkin di tempat yang seharusnya kita bisa menikmati alam dengan tenang, malah dibuat pentas dangdut oleh sebuah produsen minuman ringan yang tak tahu diri mempromosikan produknya dengan memasang panggung dangdut di tengah taman. Sungguh sebuah hal yang menjengkelkan. 

Suara musik dangdut yang beradu dengan derasnya deru air terjun sangat mengganggu ketenangan alam. Lagi-lagi Makassar mengecewakan saya. Diiringi lagu dangdut yang malah jadi membuat murung, saya dan Risty berjalan menuju penangkaran kupu-kupu. Kurang beruntung, kami terlambat. Kami tidak bisa melihat kupu-kupu itu karena mereka sudah tidur. 

Air terjun Bantimurung adalah harapan terakhir kami. Semoga air terjunnya bagus, saya berharap. Namun lagi-lagi harapan saya tidak sesuai dengan kenyataan. Air terjunnya tidak terlalu tinggi, airnya sangat deras mengalir. Yang membuat saya kecewa adalah warna airnya yang coklat keruh. Kotor. Sama seperti kali-kali di Jakarta. Satu-satunya yang indah di sana adalah hadirnya pelangi yang melintasi air terjun. Selain itu biasa saja.

Taman dan air terjun ini sebenarnya cukup bagus. Seandainya saja air terjunnya bersih, berwarna biru atau setidaknya airnya jernih tak bercampur tanah, pasti akan terlihat lebih menarik. Taman ini sangat terasa dikelola dengan kurang baik. Apalagi masalah kenyamanan dan kebersihan yang masih sangat kurang diperhatikan. Mungkin dinas pariwisata setempat harus belajar dari orang Jepang tentang bagaimana cara mengelola taman, atau tempat wisata yang baik.

Pupus sudah harapan saya untuk melihat sesuatu yang istimewa di Makassar. Bantimurung adalah objek wisata terakhir yang kami kunjungi. Dengan waktu yang tersisa, tak ada lagi objek wisata yang bisa kami nikmati.

Kami segera kembali ke pusat kota Makassar, karena hari sudah menjelang malam. Untuk menghibur diri, kami minta diantar oleh Pak Ruslan ke sebuah restoran yang punya menu khas Makassar yang lezat. Pak Ruslan akhirnya mengantar kami ke restoran Karebosi sekaligus berpisah karena dia harus segera pulang. 

Terima kasih kami ucapkan untuk Pak Ruslan. Meskipun telah menyesatkan kami ke Tanjung Bunga yang sama sekali tidak menarik, dan sering bersiul-siul dengan falsnya, tapi tanpa bantuannya kami tidak bisa mengunjungi banyak di tempat di Makassar hanya dengan waktu singkat. Semoga Tuhan memberkati Anda, Pak Ruslan.

Kembali ke restoran, kami memesan menu andalan restoran itu, sop konro dengan iga bakar. Iga bakarnya berbumbu kacang seperti bumbu sate, dagingnya lembut, tidak keras dan bumbunya meresap dengan sempurna. Dipadukan dengan kuah sop yang segar dan sepiring nasi, menjadikan sop konro Karebosi ini menu lezat yang istimewa dan wajib untuk dicicipi siapa saja.

Itulah petualangan saya di Makassar kurang lebih sehari. Saya cukup kagum dengan kemajuan pesat kota ini. Saya rasa kota ini punya prospek yang cerah untuk menjadi kota metropolitan selain Jakarta. Namun saya tidak suka dengan cuaca panasnya yang keterlaluan. Objek-objek wisatanya juga mengecewakan, tak ada yang sesuai dengan selera. Namun, untuk urusan makanan dan kuliner, Makassar tidak mengecewakan dan membuktikan sebagai salah satu yang terbaik di negeri ini.

#CeritaMaluku : Ambon, Sebuah Kota yang Manis

Kota Ambon

Begitu mendengar kata "Ambon", maka kata selanjutnya yang terpikir dalam benak saya adalah "Manise". Ambon Manise, begitu orang-orang menyebut ibukota Maluku itu. Ambon memang manis, setidaknya itu yang saya rasakan ketika berkunjung ke kota yang sebagian besar daratannya dikepung oleh lautan, Januari yang lalu.

Kemanisan Ambon dapat seketika terasa saat melihat para warganya tersenyum. Ya, mereka terlihat sangat manis saat  meregangkan bibir melebar hingga memamerkan deretan gigi-gigi putih mereka. Senyum mereka luar biasa manis, memancarkan keceriaan dan keramahan dan sanggup menularkan kebahagiaan. Keramahan mereka membuat saya merasa nyaman dan damai, rasanya seperti di rumah.

Hal ini sangat berlawanan dengan di Jakarta, di mana kata "Ambon" dikonotasikan dengan sesuatu yang menyeramkan, mengerikan dan hal negatif lainnya. Di Jakarta, Ambon identik dengan preman, tindak kriminal dan hal-hal jelek lainnya. Karena image negatif itu, bertemu dengan orang Ambon di Jakarta mungkin adalah sesuatu yang ingin dihindari oleh sebagian banyak orang. Sangat disayangkan memang, padahal di daerah asalnya warga Ambon adalah orang-orang yang ramah, baik dan punya rasa kekeluargaan tinggi.

Ambon adalah sebuah kota kecil yang penuh dengan daya tarik dan keunikan. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menikmati kota yang belum punya jalur kereta dan jalan tol ini. Yang pertama tentunya dengan berkeliling kota. Ambon adalah sebuah kota kecil, yang bisa diputari dengan sekejap. Di Ambon, mungkin langit menjadi bagian bumi yang paling bahagia, karena di sana tidak ada gedung-gedung megah yang mencakarnya. Bangunan paling mewah dan megah di kota Ambon adalah kantor Gubernur yang kira-kira tingginya tidak lebih dari sepuluh lantai. 

Bangunan yang mendominasi Ambon adalah Gereja dan Mesjid yang sangat banyak jumlahnya dan tidak sedikit yang letaknya berdampingan. Ini menjadi simbol bahwa di Ambon, warganya dapat hidup berdampingan dengan segala perbedaan, meskipun mereka sempat terprovokasi dan mengakibatkan kerusuhaan besar pada tahun 1999 yang lalu. 

Jika Anda mulai lelah dan ingin duduk santai sejenak untuk sekedar minum kopi, berkunjunglah ke Sibu-Sibu Cafe. Sekilas kedai ini hanya seperti kedai kopi biasa pada umumnya, namun atmosfir dan nuansa Ambon yang kental membuatnya menjadi kedai kopi yang spesial.

Dinding kedai itu penuh sesak oleh foto-foto putra-putri terbaik Maluku (baik yang asli maupun keturunan) yang berprestasi. Hampir semua foto musisi dalam negeri bahkan luar negeri asal Ambon tergantung di sana. Wajah-wajah seperti Broery Pesolima, Ruth Sahanya, Gelnn Fredly, Daniel Sahuleka, Giovanni van Bronchorst dan banyak atlet, artis, dan model asal Belanda keturunan Maluku menghiasi dinding kedai itu.

Menunya yang ditawarkan pun istimewa. Kopi rarobang dan kopi areng yang ditaburi kenari gurih adalah sesuatu yang wajib dicicipi oleh peminum kopi. Mereka juga menyediakan makanan khas Indonesia Timur seperti pulut unti, lopis pulut, nasi kelapa dan masih banyak lagi. Favorit saya adalah roti panggangnya yang dilumeri telur dan dipanggang dengan sempurna, sangat pas untuk menemani sore. 

Hal lain yang harus dinikmati dari Ambon sudah pasti adalah pantainya. Ambon memiliki banyak pantai dengan kualitas pemandangan seindah surga dan belum banyak dijamah manusia.

Pantai Natsepa salah satunya. Pantai yang berjarak kurang lebih 20 menit dari pusat kota Ambon ini adalah sebuah pantai komersil yang terbuka untuk umum. Airnya jernih, pasirnya putih, tenang dan cocok untuk berenang atau sekedar berkecipak kecipuk main air di pinggir pantai. Namun hal yang paling asik untuk dinikmati di Natsepa adalah makan rujak. Rujak? Di Ambon? Ya, rujak Ambon, khususnya yang dijual di sepanjang Natsepa adalah rujak yang sangat enak. Buahnya segar, bumbunya kental meresap hingga ke lapisan dalam buah, disertai dengan potongan kacang yang kasar membuat rujak ini punya kualitas istimewa. 

Pantai Natsepa

Hampir setengah jam dari Natsepa, Anda bisa menemukan sebuah pantai dengan keindahan yang luar biasa. Pantai Liang namanya. Pantai yang panjang membentang ini begitu indah, terutama warna biru lautnya yang sangat menyegarkan mata dan bahkan sanggup menghapus dahaga tanpa harus meminumnya. Pantai Liang adalah pantai dambaan semua penikmat pantai. Sebuah pantai mewah yang belum banyak terjamah dan wajib untuk dikunjungi.

Tak jauh dari Liang, jika Anda suka dengan aktivitas bawah laut, maka Anda bisa main ke Pulau Pombo. Di sekitar Pulau itu, pemandangan alam bawah lautnya tak kalah indahnya dengan tempat lain di Indonesia bahkan di dunia. Menurut David dan Jana, dua orang kenalan saya asal Eropa yang tinggal di Ambon dan punya banyak pengalaman menyelam di seluruh dunia, alam bawah laut Pulau Pombo adalah salah satu yang terbaik.

Banyak pantai lain yang bisa dikunjungi di Ambon. Pantai Santai, Pantai Pintu Kota, Pantai Hukurila dan pantai lainnya yang belum sempat saya kunjungi dan saya yakin punya pesona dan keunikan sendiri.

Untuk menutup hari, tak ada yang lebih sempurna dengan makan malam hidangan laut. Dan pilihan saya ketika itu adalah Rumah Makan Dedes di Ambon, yang terletak di jalan Sultan Babullah, tak jauh dari Mesjid Raya Al-Fatah, Mesjid terbesar di Ambon. Rumah Makan Dedes menyajikan berbagai macam hidangan laut yang segar, dimana Anda bisa memilih sendiri ikannya. Menu favorit saya adalah Ikan sikuda goreng kering yang disajikan dengan 5 jenis pilihan sambal. Rasa ikannya segar, gorengannya garing dan tidak berminyak, ditambah dengan sambal dabu-dabu, sambal merah dan sambal kacang menu ini menjadi menu spesial yang sanggup menghibur lidah. 

Ambon itu memang cantik, menawan, menarik dan punya sejuta pesona. Kini saya tahu mengapa kata "Manise" selalu menempel setelah kata Ambon. Ambon memang sebuah kota yang indah, kota yang menyenangkan, kota yang manis. 

Thursday, March 7, 2013

#CeritaMaluku : Pantai Liang, Ambon

Wow! Kata itu mengalir tanpa tertahankan begitu saya melihat Pantai Liang, Ambon. Pantai ini begitu indah, cantik dan menyegarkan. Terutama warna lautnya. Birunya sangat menyegarkan. Warna birunya seperti warna minuman ringan yang segar dan sanggup menghilangkan dahaga. Benar-benar sedap dipandang mata.

Selain warna lautnya yang cantik, pantainya bersih, airnya jernih dan pasirnya putih. Pantai Liang panjang membentang dan ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang. Keaslian dan keasrian Pantai Liang masih sangat terjaga. Di sana suasananya damai, bebas dari keramaian dan belum banyak wisatawan yang menjamah. Semua kondisi itu membuat Pantai Liang, sebuah pantai umum di pinggir kota Ambon, menjadi sebuah pantai yang mewah. 

Sore itu saya berjalan di sepanjang pantai, melihat warga sekitar yang juga sedang menikmati pantai. Banyak cara yang dilakukan warga sekitar untuk menikmati Liang. Salah satunya yang menarik perhatian saya adalah memancing. Awalnya saya berpikir, apa yang mereka lakukan? Bukankah memancing itu di tengah laut dan bukan dari pinggir pantai? Apakah ada ikan yang mau mampir hingga ke pinggir pantai dan tertipu oleh umpan mereka?

Namun, ternyata di Liang, memancing ikan dari pinggir pantai adalah hal yang mudah. Yang dilakukan warga setempat hanya melemparkan tali pancing mereka sejauh yang mereka bisa, tunggu lima menit, kemudian sebuah ikan akan terjebak dan hinggap di kail mereka. Dan hasil tangkapan mereka pun banyak. Saya melihat di setiap kantong plastik yang mereka kumpulkan, setidaknya ada lebih dari lima ikan dan cukup untuk makan malam satu keluarga.

Di tempat lain sekitar Liang, ada sebuah dermaga kecil. Dermaga ini digunakan sebagai arena bermain anak-anak dan sebagai tempat duduk-duduk santai. Banyak juga yang memanfaatkan dermaga ini menjadi semacam papan loncat indah sebelum akhirnya mereka nyebur ke laut. 

Pantai Liang sungguh sebuah tempat indah dengan atmosfir yang menyenangkan. Saya berharap Pantai Liang akan terus dibiarkan seperti ini dan dijaga keasliannya oleh warga setempat. Semoga saja tak ada investor rakus yang ingin menyulap tempat ini menjadi sebuah hotel mewah atau bangunan sejenisnya hanya demi keuntungan mereka semata. Saya khawatir, jika itu terjadi maka tidak semua orang akan bisa menikmati indahnya pantai ini. Semoga saja itu tidak terjadi. Semoga indahnya Pantai Liang akan terus bisa bebas dinikmati, hingga suatu saat ketika saya kembali nanti. 

Pantai Liang, Ambon


Thursday, February 28, 2013

#CeritaMaluku : Snorkeling di Pulau Pombo

Pagi itu saya dan Risty diantar oleh Amrin, host kami di Ambon pergi ke Pantai Liang. Untuk mencapai Liang, kami naik angkot dari terminal Ambon. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 45 menit. Sekitar pukul 10 WIT kami tiba di Liang. Amrin langsung mengajak kami bertamu ke sebuah rumah. 

Dari kejauhan, seorang pria bule melambaikan tangannya dan berteriak menyambut Amrin "Halo Amrin!" Kami menghampirinya dan Amrin memperkenalkan kami dengan bule itu. "Halo, I'm David." Ujarnya ramah, memperkenalkan diri sambil menjabat tangan saya. Tak lama kemudian muncul seorang wanita bule cantik berambut pendek menghampiri kami. Jana namanya. Wanita itu memperkenalkan dirinya dengan senyum ramah.

Mereka kemudian mengundang kami duduk di sebuah pondok, yang berfungsi sebagai ruang tamu, dan terlihat sangat berantakan. "Oh I'm sorry for such a mess. This is because we had a party last night. Let me clean up first." David merasa tidak nyaman dengan betapa berantakannya pondok itu. David dan Jana kemudian sibuk membersihkan dan merapihkannya. 

Setelah semuanya rapih, selayaknya tuan rumah yang baik David dan Jana menyuguhkan kami minuman dan kue-kue kecil. Kami kemudian saling bercerita dan melebur ke dalam sebuah percakapan yang menyenangkan. 

David dan Jana, keduanya berasal dari Benua Eropa. David dari Slovakia. Jana dari Ceko. Mereka adalah sepasang kekasih. Keduanya sudah tinggal di Ambon sejak Oktober 2012. Pada awal kedatangan mereka ke Ambon, Amrinlah yang membantu mereka mencarikan rumah dan mengurus semua surat-suratnya. 

Mereka berdua orang yang sangat baik dan ramah. Sangat menyenangkan. David bercerita betapa dia mencintai Indonesia. Menurutnya, Indonesia adalah surga. Tak ada tempat yang lebih indah selain Indonesia. "I love Indonesia and I want to die here." Ujar David mengungkapkan perasaannya. Dan dia serius dengan apa yang diucapkannya itu. Dengan izin tinggal yang hanya setahun, dia sedang memikirkan bagaimana caranya supaya bisa tinggal di Indonesia selamanya. 

Lucu. David dan Jana bercerita bagaimana mereka senang di Indonesia, tapi kami sendiri orang Indonesia, malah sangat ingin pergi ke tempat mereka, ke Eropa sana. Mereka pun heran. Menurut mereka di Indonesia jauh lebih indah dan menyenangkan dibandingkan di Eropa. "Why you wanna go to Europe if you already live in Heaven?" Jana bertanya kebingungan. "With four seasons we have, Europe is not as fun as you imagine, especially in winter." Jana menambahkan. Tapi, itulah sifat manusia, selalu menginginkan hal lain yang tidak dimilikinya. Mungkin benar kata orang, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau jika dibandingkan dengan rumput di halaman sendiri. 

"What time is it?" David bertanya dan terkejut ketika kami memberi tahu sekarang sudah pukul 11 lewat. Tiba-tiba di tengah percakapan, David menawarkan kepada kami untuk snorkeling di Pulau Pombo. "It's very beautiful there. The corals and fish were awesome. It's far more better than in Bunaken. It's only ten minutes from here and I have snorkel sets for you guys. So, Shall we go?" David mengajak kami sambil bercerita betapa menariknya Pulau Pombo. Hal itu diamini oleh Jana. Mereka berdua memastikan, snorkeling di Pulau Pombo akan sangat menyenangkan.

Kami pun tak kuasa menolak ajakan mereka. Kami sepakat pergi ke Pulau Pombo. David dan Jana terlihat sangat bersemangat. Mereka segera bersiap-siap. Ganti pakaian dan menyiapkan alat snorkeling. Karena David hanya punya satu sepeda motor, maka kami tidak mungkin untuk berangkat bersama. Jalan keluarnya adalah, David terpaksa harus mengantar-jemput kami satu persatu. Dan dengan baik hati dan sabar ia melakukan semua itu. 

Akhirnya kami tiba di sebuah desa kecil, tempat penyewaan kapal motor. Setelah bernegosiasi dengan cukup alot, akhirnya mereka setuju dengan harga yang diajukan. Perahu motor pun dinyalakan dan kami segera berangkat. 

Cuaca siang itu agak mendung. Dan yang cukup mengkhawatirkan adalah laut yang terlihat kurang tenang dan sedikit berombak. Meski demikian, itu semua sepertinya bukan masalah besar buat David dan Jana. Sedangkan bagi saya dan Risty, itu adalah sebuah masalah. Kami bukan praktisi snorkeling yang ahli. Dan kebetulan saat itu tidak disediakan jaket pelampung. Jadi kami harus berenang sendiri, terapung tanpa bantuan apa pun. 

Dengan sangat bersemangat David dan Jana menyeburkan diri ke laut. Saya dan Risty mulai ragu. Namun akhirnya dengan segala pertimbangan, saya pun memberanikan diri dan nyebur ke laut. Baru sebentar di laut, saya pun mulai panik karena ombak yang terasa makin kencang. Dibantu oleh David, saya berusaha menarik nafas sebentar dan kemudian berenang lagi. Lima menit berenang, goyangan ombak makin terasa dan saya pun mulai panik dan merasa tidak sanggup untuk melanjutkan lagi. Saya akhirnya memutuskan untuk naik ke perahu. Sungguh sangat tidak menyenangkan rasanya diserang panik. Seperti mau mati. 

Akhirnya Risty pun tak jadi menceburkan diri. Kami akhirnya sepakat pergi ke Pulau Pombo kecil untuk beristirahat. Sementara itu, David dan Jana sudah berenang makin jauh. Mungkin mereka sudah bertemu kura-kura, atau ikan-ikan lain yang sedang bermain di terumbu karang. 

Sampai di  Pualu Pombo kecil, saya duduk di pantai memandangi Pulau Pombo yang ada di seberang, sambil menenangkan diri serta mengingat-ingat apa yang saya lihat selama kurang lebih lima menit tadi. Memang benar kata David. Alam bawah lautnya indah. Tapi apa boleh buat, saya hanya bisa menikmatinya dengan sangat singkat. Seandainya saja ada pelampung, mungkin akan lain ceritanya. 

Awan terlihat semakin gelap. Dan tak lama kemudian, hujan pun turun. Ombak terlihat makin besar. Setelah hampir setengah jam snorkeling, David dan Jana akhirnya berteriak dari tengah laut minta dijemput. Kami pun segera menjemputnya dan kembali menuju kediaman mereka di Liang. 

Kami kembali berbincang-bincang di pondok rumah kontrakan David dan Jana. Mereka menceritakan apa yang mereka lihat tadi. Kemudian memperlihatkan kepada kami gambar-gambar yang diambilnya. Sungguh menakjubkan. Pemandangan bawah laut Pulau Pombo sangat indah. Mereka memberikan kami sebuah alamat Facebook LivingLovingIndonesia yang merupakan akun milik mereka berdua yang berisi keindahan Indonesia. Di sana juga ada foto-foto pemandangan bawah laut Pulau Pombo yang dapat di lihat pada Link ini

Kami melanjutkan perbincangan sambil minum teh hangat. Suasana terasa makin akrab. Selama perbincangan, ada satu hal yang menggangu pikiran saya. Dalam benak saya, saya merasa kalau David itu mirip seseorang terkenal. Dan akhirnya saya tahu, David itu mirip siapa. "David, you know what, you look like Zinedine Zidane, the famous French footballer!" ujar saya kepada David yang langsung tertawa mendengarnya. Ya, David mirip Zidane. Potongan rambutnya, hidungnya, berewoknya, semuanya. Dia benar-benar mirip pesepakbola Perancis itu. "You are not the first person who said that." Ujar David sambil tersenyum lebar. Jana ikut tertawa. Kami semua pun tertawa. 

Sebenarnya ingin berlama-lama ada di sana, bahkan mereka berbaik hati menawarkan kami untuk menginap. Namun, kami tak punya banyak waktu. Kami masih punya agenda dan tempat lain yang ingin dikunjungi. Kami pun mengakhiri kebersamaan, mengambil foto bersama, dan kemudian berpamitan.  

Terlepas dari insiden snorkeling yang agak memalukan, saya sangat menikmati hari itu. Dan yang paling menyenangkan bagi saya adalah bisa bertemu dengan orang asing dan kemudian berteman dengan mereka. Ya, bagi saya itu adalah salah satu hal yang paling menyenangkan dalam traveling.

Pulau Pombo Kecil


Saya, Risty, David dan Jana

Wednesday, February 27, 2013

#CeritaMaluku : Ora Beach Resort

Ora Beach Resort bukan tempat penginapan biasa. Tempat ini menawarkan sesuatu yang istimewa. Di sana ada panorama laut dengan sejuta pesona. Indah, serta penuh dengan rasa damai luar biasa. 

Resort ini punya 6 pondok unik. Semuanya berdinding dan berlantai kayu serta beratapkan jerami. Ditopang oleh kaki-kaki bangunan yang kuat, pondok-pondok itu terlihat kokoh berdiri di atas permukaan laut. Sekilas bentuknya mirip gubuk sederhana. Selain itu, ada 6 kamar penginapan standar di pinggir pantai serta sebuah restoran.

Yang paling istimewa sudah pasti adalah pondok yang berdiri diatas permukaan laut. Kamarnya luas dan nyaman. Kamar mandinya bersih. Dan yang menjadi favorit saya adalah terasnya. Di teras itu saya bisa duduk dengan tenang menikmati indahnya pemandangan laut sambil ditemani oleh merdunya orkestra alam yang terdiri dari perpaduan suara tiupan angin, kicau burung, serta suara ombak. Sungguh damai rasanya.

Air laut di Ora sangat indah berwarna biru kehijauan. Jernih. Khususnya pada pagi hari. Dari kejauhan saya dapat melihat jelas ikan-ikan kecil yang sedang bermain di terumbu karang. Jika ingin berenang, tak perlu repot, tinggal loncat dari sekitar teras.

Kegiatan menyenangkan lainnya adalah berjalan di sepanjang pantai. Pantai Ora adalah sebuah private beach. Bebas dari jamahan turis massal. Pantai ini benar-benar serasa milik pribadi. Suasananya sepi. Bebas dari ramai. Damai.

Dengan bantuan perahu motor yang disediakan, saya bisa mengunjungi tempat-tempat menarik di sekitar resort. Salah satunya adalah mata air Belanda. Jarak tempuhnya hanya 5 menit menggunakan perahu motor. Di sana ada sebuah pantai landai berpasir putih lembut. Dan yang membuat tempat itu istimewa adalah mata air yang membentuk sungai kecil. Mengalir dari pegunungan hingga ke laut. Airnya dingin. Kadang air itu keluar dari lubang-lubang pasir kecil yang ada di pantai. Konon tempat ini ditemukan oleh bangsa Belanda, sehingga dinamakan oleh penduduk setempat mata air Belanda.

Mata Air Belanda

Di sekitar Ora juga banyak tempat ideal untuk snorkeling. Jaraknya kurang lebih 5 - 10 menit ke arah kanan resort. Di sana banyak terdapat tebing-tebing menjulang tinggi. Seperti yang saya temui di Ha Long, Vietnam dan sekitar Phi-Phi, Thailand.

Hanya satu hari saya berada di sana. Namun tempat ini sungguh berkesan di hati. Sungguh sebuah tempat yang layak dikunjungi. Kini saya tahu, Surga ternyata punya cabang di Maluku Utara. Letaknya di Pulau Seram. Ora Beach Resort namanya.

* Jika Anda ingin berkunjung ke sana, untuk informasi lebih lengkap silahkan klik link ini
 

Ora Beach Resort



Monday, February 11, 2013

#CeritaMaluku : Pantai Ora (Pagi Hari)

Pantai Ora, 24 Januari 2013


Pukul lima subuh. Suara dering alarm membangunkan. 

Segera aku mengangkat tubuh, Menuju teras, aku berjalan.

Ku menengadah ke atas, berharap secercah sinar mentari mulai menyinari pagi.

Namun kutemukan langit gelap disesaki bintang. Terlihat seperti serpihan kaca yang berserakan di angkasa.

Pantai Ora, subuhmu indah. Bagai malam sempurna yang tertunda. 

Kunikmati subuhmu. Sabar ku menanti datangnya mentari.

Satu jam berlalu. Akhirnya cahaya keemasan itu datang. 

Cahaya itu membuat gelap mati terbunuh. Pagi cerah mulai tumbuh.

Kabut dan awan gelap yang kemarin berkuasa, sekarang melarikan diri. Tak sanggup menahan gempuran sinar mentari yang mulai hangat menghampiri.

Pagi itu, tak ada lagi mendung. Hujan pun tak punya nyali untuk berkunjung.

Pagi itu, matahari bertahta. Berkuasa penuh atas cuaca.

Pagi itu, langitmu biru cerah. Dikerumuni gerombolan awan putih.

Pagi itu, lautmu tenang tak diganggu ombak. Warna lautmu mulai bebas dari keruh. Jernih. Biru kehijauan.

Pagi itu, panoramamu penuh warna. Indah memesona.

Penuh senyum aku duduk memandangmu. Aku bahagia.

Di pagi yang indah itu, melalui panoramamu, semesta seolah sedang memberi isyarat.

Semesta seakan berbicara padaku. Akan selalu ada hari yang baru. Hujan dan badai pasti berlalu.

Masa lalu boleh saja kelabu. Namun masa depan tidak akan seperti itu.

Setiap masa kelabu punya batas waktu. Suatu saat, masa cerah nan indah pasti akan datang bertamu.

Melalui keindahanmu, semesta meyakinkan aku. Masa depanku akan sama seperti kondisimu pagi itu.

Masa depanku akan cerah. Bercahaya dan indah.

Terima kasih atas segala pesonamu, Pantai Ora. 

Engkau akan selalu kurindu. Suatu saat, aku akan kembali bertamu.

Menceritakan padamu, betapa cerahnya masa depanku. Betapa indahnya hidupku.

Sampai bertemu di lain waktu, Pantai Ora.


Pantai Ora, Di Sebuah Pagi Yang Cerah

Thursday, January 31, 2013

#CeritaMaluku : Pantai Ora (Sore Hari)

Pantai Ora, 23 Januari 2013



Aku terbang dari Jakarta ke Makassar hingga akhirnya sampai di Ambon.

Ku tempuh Tulehu, Masohi hingga Saleman, hanya untuk menggapaimu.

Butuh sehari penuh untuk berjumpa denganmu.

Pukul lima sore, aku bertatap muka denganmu.

Sial. Aku kurang beruntung. Cuaca mengganggumu.

Airmu keruh, tak sejernih yang kuidamkan.

Sama seperti pikiranku, sedang penuh keluh.

Padahal, aku berharap, keindahanmu dapat meredakan badai di hatiku.

Namun, apa yang bisa kuperbuat jika semesta sudah bernubuat?

Ah, sudahlah...nikmati saja, aku memutuskan.

Aku masuk ke salah satu pondokmu.

Duduk di teras, memandang panoramamu.

Tak jemu mataku memandangmu, meski kecantikanmu sedang terganggu.

Lautmu berombak. Bukitmu samar-samar tertutup kabut. 

Awanmu kelabu, membunuh jingga cahaya senja.

Meski demikian, suasanamu tenang. Damai.

Sepi. Sunyi. Hening.

Tak ada suara nada dering. Tak ada suara bising.

Yang terdengar hanya merdunya deru ombak, sayup-sayup suara angin, dan sesekali nyanyian burung di angkasa.

Kedamaianmu seketika menyihir hatiku menjadi tenteram. Sekejap menyulap pikiranku menjadi tenang.

Sungguh nyaman di sini. Batinku sejuk

Sambil menikmatimu, aku melihat masa depanku

Entah kenapa, aku merasa sama sepertimu

Keruh, berkabut dan penuh awan kelabu.

Saat ini aku seperti itu. Masa depanku abu-abu. Penuh ragu

Namun dalam hatiku aku tahu. Semua ini akan berlalu. Tak akan selamanya begitu

Esok akan ada hari yang baru. Anugerah semesta pun baru. Akan menantiku, kejutan-kejutan baru.
 
Semoga esok, langitmu biru cerah, menghapus kelabu.

Semoga esok airmu biru jernih, melenyapkan keruh.

Semoga esok, kau akan bersinar. Bercahaya menunjukan wajah aslimu.

Aku pun yakin, hari esokku, masa depanku akan seperti itu.

Terang. Bersinar. Bercahaya. Penuh dengan warna cerah yang menyenangkan.

Sampai bertemu besok di hari yang baru, Pantai Ora.



Pantai Ora, Pada Sebuah Sore Yang Mendung

#CeritaMaluku : Menuju Ora, Pulau Seram

Suara kapten terdengar lembut dari pengeras suara di kabin penumpang. Tak jelas apa yang diucapkannya, terdengar seperti orang yang sedang berkumur. Namun saya dapat menangkap maksudnya. Pesawat akan segera mendarat. Lampu ruang kabin pun menyala hangat. Para pramugari mulai sibuk mondar-mandir melewati gang di antara kursi penumpang, ramah dan tampak serius untuk memastikan penumpang memasang sabuk pengaman dan membenarkan sandaran kursi.

Saya melihat ke luar jendela. Seberkas cahaya terang mulai menembus awan-awan tebal. Cahaya itu perlahan-lahan mulai membunuh gelap. Mulai mencerahkan langit. Bukit-bukit mulai terlihat samar-samar bercampur kabut. Laut luas mulai jelas terlihat tepat di bawah pesawat. Indah. Pemandangan indah itu seakan-akan  menjadi cara kota Ambon menyambut dan mengucapkan selamat pagi. Sungguh cara yang elegan.

Pesawat menukik tajam namun perlahan. Daratan makin terasa dekat. Tak lama berselang suara decitan halus terdengar, roda pesawat mengecup lembut landasan pacu. Pukul 06.00 Waktu Indonesia Timur saya tiba di bandara internasional Pattimura, Ambon.

Ibu saya berasal dari Maluku, walaupun dia lahir di Jakarta. Otomatis, 50% darah saya adalah darah Maluku. Jadi, sangat menyenangkan bisa menginjakan kaki di Ambon, ibukota Maluku. Rasanya seperti pulang ke rumah. 

Telah menunggu di bandara, Amrin, seorang couchsurfer asal Ambon yang telah membuat janji dengan pacar saya, Risty yang juga anggota Couchsurfing. Couchsurfing (CS) adalah sebuah komunitas online yang menghubungkan traveler dari mancanegara. CS punya misi untuk agar setiap anggotanya punya pengalaman yang menginspirasi. Setiap anggota CS punya kesempatan untuk menjadi tuan rumah di negaranya sendiri menjamu traveler yang ingin berkunjung dan begitu juga sebaliknya.

"Mbak Risty ya?" kata pria yang mengenakan jaket timnas sepakbola Inggris warna biru dan kemudian bersalaman dengan Risty. Dia memperkenalkan diri sebagai Amrin, kemudian saya menjabat tangannya dan memperkenalkan diri.

Tanpa banyak basa basi, Amrin mengantar kami keluar dari bandara. "Kita harus segera berangkat, Kapal ke Masohi berangkat pukul sembilan. Kalau enggak berangkat sekarang takutnya nanti enggak bisa ke Ora". Ujarnya sambil berjalan sedikit terburu-buru karena waktu itu sudah menunjukan hampir pukul tujuh pagi.

Saya dan Risty bertujuan ke Ora Beach Resort, sebuah tempat penginapan yang terletak di Pantai Ora, Pulau Seram. Untuk sampai ke sana, langkah pertama yang ditempuh adalah menuju pelabuhan Tulehu. Menurut Amrin, kapal dari Tulehu berangkat sekitar pukul 9 atau 10 pagi menuju Masohi.

Amrin membawa kami naik angkot. Ya, di Ambon, di depan bandaranya banyak angkot, sehingga kami tidak perlu naik taksi. Di Ambon, taksi bukan seperti taksi umum di Jakarta, namun lebih seperti mobil carteran dan harganya lumayan mahal. Ada juga Damri, tapi menurut Amrin bus pemerintah itu tidak pasti datangnya. Bisa sangat lama menunggunya, seperti menunggu jodoh. Jadi, angkutan kota (angkot) adalah pilihan terbaik untuk budget traveler seperti saya.

Di dalam angkot, kami berbincang-bincang dengan Amrin. Saling bertukar cerita dan pengalaman. Amrin ramah dan bukan tipe pendiam. Dia suka berbicara. Wajahnya lebih mirip orang Jawa jika dibandingkan dengan orang Ambon pada umumnya. Kulit sawo matang. Potongan rambut dan badannya sekilas mirp anggota ABRI.

Amrin ternyata lama tinggal di Malang. Sekitar 10 tahun, namun dia terlihat masih sangat menguasai Ambon. Dia tahu dengan pasti kemana akan membawa kami. Dia banyak bercerita tentang pengalamannya menjadi host untuk turis-turis yang pernah berkunjung ke Ambon. "Bule tuh macem-macem tingkahnya. Ada yang baik. Super baik. Ada juga yang pelit. Ada juga yang banyak maunya dan tingkahnya aneh. Sekarang, saya lagi malas jadi host untuk bule." Amrin bercerita. Sepanjang perjalanan dia terus bercerita. Itu hal yang bagus, sehingga suasana mencair dan tidak kaku. Tidak membosankan.

Sambil berbincang, saya sesekali mengamati pemandangan sekitar. Jalanan hanya dua jalur, pas untuk dua mobil. Disampingnya banyak tanah kosong yang hanya dihuni oleh tumbuhan hijau serta rumah sederhana. Sesekali terlihat juga lautan yang mengintip malu-malu dari tepian. Tentram. Damai. Suasana pedesaan masih kental terasa. Sangat jauh berbeda dengan perkotaan.

Kami tiba di Passo. Turun di sana dan naik angkot lagi menuju Tulehu. Sekitar 30 menit dari Passo, kami tiba di Tulehu dan segera membeli tiket kapal cepat yang akan membawa ke Masohi. Masih punya banyak waktu, Amrin mengajak kami menuju Desa Wailatu, tak jauh dari pelabuhan Tulehu.

Di Wailatu ternyata ada sebuah tempat yang cukup menarik. Semacam pemadian umum yang dialiri sungai dari pegunungan. Airnya sangat jernih. Bening. Warnanya biru kehijauan diterpa sinar matahari. Tempat ini digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mandi, mencuci baju atau bahkan hanya sekedar berenang dan bermain.

Masyarakat di desa itu terlihat bahagia. Mereka sepertinya hidup tanpa beban. Tanpa tekanan seperti masyarakat perkotaan. Amrin menyarankan agar memberi mereka uang Rp. 10.000,- untuk membelikan ikan sebagai pancingan agar belut-belut yang ada di tempat itu keluar. Dan benar saja, mereka girang dan semangat membelikannya. Dirangsang dengan bau amis ikan segar, belut-belut itu keluar. Badannya lurus, sangat panjang seperti ular. Kira-kira sepanjang lengan orang dewasa. Mungkin ini adalah belut terbesar dan terpanjang yang pernah saya lihat. Belut-belut itu kemudian melingkarkan badannya lalu menggeliat dan melahap ikan-ikan yang diberikan warga.

Menurut Amrin, belut-belut itu tidak boleh dibunuh. Tidak boleh ditangkap. Karena nenek moyang masyarakat setempat konon katanya pernah ditolong oleh belut itu, dan kini belut itu menjadi sahabat masyarakat Desa Wailatu.

Suasana Desa Wailatu

Kami kemudian kembali ke pelabuhan Tulehu. Sarapan di Rumah Makan Padang yang masakannya terasa tidak karuan. Jauh dari nikmat masakan Padang pada umumnya. Malah, kalau boleh saya berpendapat, itu bukan masakan Padang sama sekali. Itu hanya sebuah warung nasi sederhana yang berkedok Rumah Makan Padang.

Amrin harus meninggalkan kami karena ada pekerjaan. Kami kini tanpa pemandu, naik kapal cepat Cantika Express menuju Masohi. Kapal ini cukup nyaman, hanya saja sangat kurang dalam hal tata tertib. Penumpang yang banyak membuat pihak kru kapal kewalahan mengaturnya. Akibatnya nomor tempat duduk yang tertera di lembar karcis tidak ada gunanya. Penumpang duduk semau mereka. Lagi-lagi masalah yang menjengkelkan di Indonesia. Ketertiban.

Beruntung, kami dapat tempat duduk, tepat di depan monitor televisi. Kapal berangkat pukul 10.00 dengan estimasi kedatangan pukul 12.00 di Masohi. Waktunya saya tidur dan berharap ketika bangun kapal sudah tiba sampai tujuan.

Suara irama pop yang mendayu-dayu merusak tidur saya. Suara merdu seorang wanita yang sedang bernyanyi galau akibat putus cinta membangunkan saya. Monitor televisi menyala. Oh tidak, saatnya karaoke! Sungguh bukan waktu yang tepat. 

Seandainya saja saya yang memegang remote, sudah pasti saya akan menggantinya dengan film atau musik yang lebih cocok di telinga saya. Sudahlah, nikmati saja. Saya tak kuasa berbuat apa-apa. Tidur tak bisa lagi. Mau tak mau, mata saya memandang layar televisi, menyimak video klip dan nyanyian itu.

Lambat laun, saya mulai bisa menikmati sajian karaoke itu. Bukan lagunya, tapi liriknya yang menggunakan Bahasa Ambon. Perlahan-lahan saya mulai mengerti Bahasa Ambon. Video karaoke itu ternyata bisa menjadi sebuah pelajaran di tengah gangguan.

Pukul 12.00 waktu setempat. Kami tiba di pelabuhan Amahai, Masohi. Sesuai pesan Amrin lewat SMS, kami segera mencari ojek untuk tujuan berikutnya, terminal Masohi. Tak lama kemudian kami tiba di terminal dan menemukan mobil carteran yang akan membawa kami ke Desa Saleman. Kata pemiliknya, kami harus menunggu penumpang lain, selama beberapa waktu, yang berarti entah sampai kapan, hanya Tuhan yang tahu.

Kami duduk. Menunggu waktu berlalu dengan jemu. Tiba-tiba suara merdu mendayu dayu datang bertamu. "Mana se pung hati....Di mana perasaan...Bilang kalau ale jua cinta beta...Katakan sayang..kalau benar benar ale sayang..." Oh tidak, Tuhan tolong saya. Suara-suara vokal Mitha Talahatu mulai menghantui saya. Sial, bahkan namanya penyanyinya saya ingat. Oh tidak, saya benar-benar keracunan lagu-lagu karaoke kapal Cantika Ekspress. Saya sangat butuh pertolongan.

Lebih dari dua jam saya menunggu. Akhirnya mobil itu tiba. Menyelamatkan saya dari bosan dan ketidakberdayaan untuk mendengar suara vokal Mitha dan penyanyi lokal lain yang masih terngiang di kepala, yang mungkin lama-lama bisa membunuh saya. Terima kasih Tuhan.

Bersama dua penumpang lain, saya dan Risty serta sopir berangkat menuju Desa Saleman. Dari Terminal Masohi kami melewati sebuah desa yang kemudian membawa kami melintasi sebuah jalan raya kecil, hanya muat dua mobil. Mobil melaju kencang tanpa hambatan. Angin sepoi sepoi dari kaca jendela lama lama membuat saya tertidur. 

Saya kembali terbangun, setelah mendengar suara mesin mobil yang menderu-deru menaiki bukit terjal. Kami telah sampai di daerah bukit yang dipenuhi ratusan jenis pepohonan hijau. Kami sedang membelah bukit melaui jalan-jalan sempit, yang untungnya sudah di aspal. Daerah ini sangat sepi. Jarang sekali terlihat kehidupan, hanya sesekali bertemu dengan orang-orang yang sedang bekerja membangun jalan. Mobil lain pun jarang terlihat. Mobil kami tak punya lawan, melaju sendirian, di tengah hutan.

Lama-lama kelamaan, seiring jalan yang mulai menukik turun, lautan biru luas mulai terlihat. Kami sudah dekat. Desa Saleman sudah ada di depan mata. Akhirnya setelah dua jam lebih perjalanan, kami tiba dan langsung disambut perahu yang langsung menyeberangkan kami ke Pantai Ora, tujuan kami. 

Desa Saleman, Pantai Ora dan sekitarnya baru selesai diguyur hujan. Awan mendung. Kabut bergentayangan. Laut tak sejernih yang diidamkan. Tidak seperti yang diharapkan. Namun perjalanan harus dilanjutkan. Sepuluh menit kemudian kami tiba di Ora. Siap menikmati apa yang ada, meski tidak didukung oleh kondisi cuaca yang sedang tidak bersahaja.