Thursday, August 16, 2012

Phuket : Surga Di Selatan Negeri Gajah Putih



1. The Beach

“Suatu hari aku akan pergi ke sana! Suatu hari aku akan menikmati pantai itu! Suatu hari aku akan merasakan surga itu.” ujarku sambil bertekad setelah menonton film The Beach yang dibintangi Leonardo Di Caprio tahun 2000 yang lalu. Di film itu, Leo yang memerankan tokoh bernama Richard berpetualang di negeri Gajah Putih, Thailand. Awalnya Richard berpetualang di Bangkok. Lalu Richard diwariskan sebuah peta misterius oleh seorang pria yang menginap tepat di sebelah kamar hotelnya. Peta itu ternyata adalah petunjuk arah untuk sampai ke sebuah pulau rahasia yang konon memiliki sebuah pantai dengan kualitas pemandangan seindah surga.

Singkat cerita, dengan segala upayanya, Richard berhasil menemukan pantai itu. Richard berhasil menemukan pantai yang sangat indah dengan pemandangan spektakuler. Pantai dengan panorama yang bisa membuat mulut menganga. Keindahan pantai yang digambarkan pada film itu serta serunya petualangan Richard di sana membuatku berangan-angan ingin merasakan hal yang sama. Aku ingin pergi ke sana.

Dua belas tahun kemudian, Minggu, 6 Mei 2012 aku tiba di Bandara International Phuket, Thailand bersama pacarku yang cantik, Risty. Tujuan utama kami pergi Phuket adalah Maya Bay, lokasi dimana pantai yang ditampilkan di film The Beach yang letaknya tidak jauh dari Phuket. Selain itu aku ingin mencari tahu apa sebenarnya yang membuat Phuket, sebuah provinsi di bagian selatan Thailand itu menjadi populer dan ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.

Malam itu, kedatangan kami di Phuket disambut oleh hujan lebat. Hujan sama sekali bukan hal yang diinginkan ketika melakukan perjalanan. Sesuatu yang tidak diharapkan. Hujan disaat perjalanan wisata adalah bencana yang dapat menggagalkan sebuah rencana.

Untungnya, pada malam itu hujan tak berlangsung lama. Setelah menjalani proses pemeriksaan barang, pengecekan imigrasi hingga sampai di pintu keluar bandara, hujan mereda.

Karena kami adalah pelancong dengan dana minim, maka kami segera mencari minibus service, semacam jasa travel shuttle di Jakarta yang ongkosnya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan taksi. Sayangnya pada malam itu kami kurang beruntung. Semua minibus service tidak mau langsung berangkat. Mereka masih menunggu penumpang agar bangku terisi penuh. Mereka masih menunggu penerbangan dari Bangkok yang baru akan tiba pukul sebelas malam. Sedangkan pada saat itu waktu baru menunjukan pukul setengah sembilan malam.

Kami dihadapkan oleh dua opsi. Biaya lebih murah tapi kehilangan waktu, atau biaya mahal tapi bisa menghemat waktu. Buat kami waktu lebih berharga dibanding uang. Uang bisa dicari lagi, namun waktu tak akan pernah kembali. Beda harga sedikit asal masih masuk akal bukan masalah. Kami memilih opsi yang kedua. Akhirnya kami naik taksi menuju Patong dengan biaya 600 Baht atau sekitar IDR 180.000.



2. Bangla Road – Patong.

Patong adalah daerah pantai yang terletak di bagian barat Phuket. Pusat hiburan. Pusat kehidupan malam. Pusat hura-hura. Pusat segala kemeriahan berada. Turis-turis dan setiap pelancong yang berkunjung ke Phuket, kebanyakan bermalam di daerah Patong.

Begitu juga dengan kami. Sebelum menuju Maya Bay, Patong menjadi tempat kami bermalam. Dengan menggunakan taksi, kami meluncur menuju Patong. Perjalanan menuju Patong melewati jalan-jalan yang cukup sepi dan gelap. Suasananya remang-remang. Kurang pencahayaan. Medan jalannya seperti di daerah Puncak, Jawa Barat. Penuh tanjakan dan turunan yang curam serta berliku.

Kurang lebih satu setengah jam yang kami butuhkan untuk sampai di Patong dari bandara. Kami langsung menuju tempat penginapan yang kami pesan sebelumnya. Patong Backpackers Hostel. Sebuah hostel sederhana dengan tarif per malam yang murah. Hanya sekitar 270 Baht atau Rp 80.000 untuk kamar dorm campuran yang kami pesan.

Sesampainya di hostel, kami langsung segera memesan tiket kapal feri yang akan membawa kami menuju Phi-Phi Island beserta minibus service yang akan menjemput dan mengantarkan kami menuju pelabuhan. Untuk menuju Maya Bay, kami harus ke Phi Phi Island terlebih dahulu, karena semua akomodasi menuju May Bay terdapat di sana. Kami memesan jadwal yang paling pagi untuk mengejar kapal menuju Maya Bay yang tidak setiap saat berangkat. Setelah semua urusan check-in dan pemesanan tiket feri selesai, kami segera menuju kamar, menaruh tas ransel kami dan segera keluar dari hostel menuju Bangla Road, jalan yang populer dengan meriahnya kehidupan malam.

Bangla Road terletak tak jauh dari hostel tempat kami menginap. Letaknya dekat  pantai Patong. Malam itu Bangla Road ramai pengunjung, meskipun terlihat jalanan masih banyak yang tergenang air pertanda habis diguyur hujan. Kebanyakan pengunjung di sana adalah turis bule. Turis-turis itu banyak terlihat memenuhi bar, pub, restoran, cafĂ©, dan diskotek yang ada di sepanjang jalan. Atmosfir di sana mirip dengan yang kurasakan ketika berada di Kuta, Bali. Suasananya kurang lebih sama, Ramai. Meriah. Pesta dimana-mana. Penuh hura-hura. Namun kehidupan gemerlap malam di Bangla Road sedikit lebih liar dibandingkan dengan Kuta.

Selain menyediakan fasilitas yang lengkap untuk berpesta dan hura-hura, Bangla Road juga menyediakan banyak wanita penghibur. Di bar-bar atau diskotek yang teradapat di sepanjang jalan, terlihat banyak wanita yang berpakaian seksi sedang menari erotis meliuk-liukan badannya di sebuah tiang, berusaha memancing birahi kaum lelaki. Pemandangan seperti itu hampir dapat ditemukan di sepanjang jalan.

Di sana juga banyak para kaum transgender yang berkeliaran di sepanjang jalan. Mereka cantik-cantik. Nyaris tak ada bedanya dengan wanita asli. Banyak dari mereka yang berdandan seperti malaikat. Lengkap dengan aksesoris sayapnya. Banyak juga yang hanya mengenakan bikini sengaja memamerkan tubuhnya. Badan mereka tinggi semampai. Bodi mereka aduhai. Seksi. Sekilas mirip model Victoria’s Secret.

Mereka sanggup membuat turis-turis yang sedang berjalan tiba-tiba berhenti sejenak hanya untuk mengamati mereka. Tingkah laku dan dandanan mereka memang cukup punya magnet yang kuat untuk menarik perhatian. Mereka kadang terlihat usil, menggoda para pengunjung yang melewati mereka agar mau berfoto, tapi dengan imbalan. Mereka hanya mau difoto jika diberi uang. Mereka yang tadinya ramah akan berubah menjadi marah jika mereka menangkap basah ada yang mengambil foto mereka sembunyi-sembunyi.

Kemudian aku dan Risty terus menelusuri Bangla Road hingga ujung jalan. Di seberang Bangla Road terlihat banyak restoran. Kebanyakan restoran sea food. Di pinggir jalan banyak toko-toko kaki lima yang menjual kaos dan segala jenis pakaian hingga pernak pernik. Ada juga beberapa mal yang cukup besar dan beberapa mini market.

Di sana juga nampak tuk-tuk, semacam angkot di Indonesia, namun jauh lebih modis. Kendaraan itu didandani dengan meriah. Kebanyakan tuk-tuk di daerah Phuket itu ceper-ceper. Bumpernya tebal-tebal dan panjang hingga nyaris menyentuh tanah. Bagian tempat duduk penumpang tak ada jendelanya, atapnya hanya ditutup terpal dan terbuka di sisi kiri dan kanan. Banyak juga yang dilengkapi dengan sound system lengkap dengan power dan woofer sehingga suara yang dihasilkan sangat kencang. Tajam menusuk telinga. Keras menekan jantung.  Kebanyakan tuk-tuk itu hanya parkir. Tidak beroperasi. Namun ada juga yang mondar mandir sepanjang jalan sedang mengangkut penumpang.

Tak lama kemudian, hujan kembali turun. Tidak deras memang, tapi sudah cukup untuk membasahi Bangla Road dan sekitarnya. Bermodalkan payung, kami berjalan menembus hujan. Kami bergegas kembali ke arah hostel. Kami kemudian berteduh sebentar di sebuah restoran cepat saji sekaligus makan malam.

Setelah makan malam selesai, hujan pun reda. Sebelum kembali ke hostel, kami menyempatkan diri bersantai di pantai Patong sekedar untuk merasakan kulit kami disentuh angin malam, mendengar desiran ombak serta berusaha menerawang bintang yang tertutup oleh awan mendung.

Kami menikmati pantai itu hingga tengah malam. Kemudian kami kembali ke hostel. Berkemas. Tidur.

Bangla Road - Patong



3. Phi-Phi Island

Baru tidur sekitar tiga jam, kami dibangunkan oleh staf hostel sekitar pukul tiga dini hari. “Excuse me. I’m sorry to wake you up. I got a bad news for you. I am very sorry, I forget to tell you that there is no more minibus service available for first schedule at 8 am. It’s already full. Is it okay if I change your schedule to 9.00 am or 12 pm? And actually I’m not pretty sure about the 09.00 am schedule. I hope it’s still available. One thing for sure, for 12 pm schedule it’s available.” Ujar staf hostel itu menginformasikan sebuah kabar yang kurang baik dengan muka penuh rasa bersalah.

Mendengar itu, aku dan Risty cukup kecewa. Kalau saja staf itu memberi tahu kami dari awal ketika memesan tiket bahwa jadwalnya sudah penuh, kami bisa mencari alternatif lain dengan segera dan memesan di tempat lain. Rencana kami bisa berantakan gara-gara hal ini. Kami hanya bisa berharap semoga jadwal berikutnya yang pukul sembilan pagi masih tersedia.

“Please arrange to 9.00 am schedule, we really don’t have much time. Please try your best to manage that. I really appreciate it if you can do that.” Aku menjawab dengan sedikit kesal. “I’ll do my best, sorry for this inconvenience. I am really sorry.” Jawabnya menyesal dengan muka melas, sehingga membuatku tak tega untuk memarahinya dan langsung memaafkannya. Kemudian staf itu keluar, aku melanjutkan tidurku sambil berharap besok aku akan mendapat kabar gembira.

Pukul enam pagi. Aku terbangun. Kasur di kamar kami yang total ada enam buah dan tadinya kosong, sudah terisi penuh. Terlihat ada empat bule yang sedang tertidur lelap. Tak mau mengganggu tidur mereka, aku membangunkan Risty, kemudian membereskan tas kami pelan-pelan. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara, seperti maling yang sedang bekerja.

Setelah mandi dan sarapan, aku duduk-duduk di ruang tamu hostel, sambil menunggu kabar baik dari staf hostel. Ruang tamu itu cukup nyaman. Cukup luas. Ruang itu berlantaikan kayu, dihiasi oleh televisi flat layar lebar nyaris seukuran layar bioskop lengkap dengan DVD player dan sound system. Ada juga beberapa komputer yang disewakan per jamnya. Tersedia juga di sana rak buku beserta buku-bukunya. Di ruang tamu itu juga ada dua buah matras kecil yang cukup empuk, pas untuk dipakai membaca sambil tiduran.

Aku mulai bosan. Cukup lama aku menanti. Pukul setengah lapan pagi, kabar baik belum juga menghampiri. Aku kemudian mendatangi meja resepsionis hostel, berbicara dengan stafnya, menanyakan apakah sudah ada kepastian mengenai jadwal penjemputan kami. “I’m afraid there is no confirmation yet, please be patient sir…I’m really sorry.” Jawab staf hostel itu ramah dan sopan. Staf hostel itu ternyata bukan orang yang sama yang membangunkan kami. Mereka ternyata telah bertukar jadwal. Sambil menunggu, aku mengajak dia berbincang.

Di tengah-tengah perbincangan kami, hujan turun cukup deras.“It’s rain everyday here. It’s been a week. The weather is not good. So where you wanna go?” ujar staf hostel itu memberi informasi dan bertanya kepadaku. Aku bilang kepadanya, kami mau ke Maya Bay. Mau bermalam di sana. “I never heard that. I really don’t know if you can stay on Maya Bay, and with bad weather like this, I think it’s not good to go there.” Staf itu tersenyum kecil meragukan rencanaku. Mendengar hal itu, semangatku sedikit luntur. Cuaca yang tak menentu dan keraguan dari orang lokal mengenai bisa atau tidaknya bermalam di sana membuatku was-was.

Aku heran. Mereka tidak mengetahui kalau di Maya Bay diperbolehkan untuk bermalam. Alamat situsnya jelas-jelas ada dan valid, www.mayabaycamping.com. Mereka malah menertawakanku. Meragukanku. Tapi aku yakin aku bisa bermalam di sana. Yang membuatku yakin selain alamat website adalah pengalaman Risty yang sudah pernah bermalam di sana tahun 2010 yang lalu. Jadi aku yakin, tak mungkin tak bisa bermalam di sana. Yang aku khawatirkan sekarang hanya cuaca. Aku tak bisa membayangkan betapa tidak menyenangkannya ke pantai ditemani hujan. 

 Tak lama kemudian, staf hostel itu memencet-memencet telepon genggamnya, menghubungi seseorang. Dia berbahasa Thailand dengan cepat tanpa aku mengerti sedikitpun. Staf itu kemudian berbicara kepadaku sambil tersenyum “Be ready sir, the minibus will pick you up at 09.00 am.”

Mendengar itu, aku sangat lega. Kami bisa berangkat menuju Phi-Phi sebelum makan siang. Kami bisa mengejar jadwal kapal menuju Maya Bay yang menurut pengalaman Risty akan berangkat sekitar pukul tiga sore. Semangatku mulai tumbuh kembali. Walaupun hujan masih turun rintik-rintik dan awan terlihat gelap, tapi yang penting kami bisa berangkat ke sana. Hujan memang cukup memusingkan kepala. Namun apabila kami gagal berangkat ke Phi-Phi hari itu sesuai jadwal, maka hal itu akan menjadi bencana. Masalah cuaca, aku hanya bisa berharap ketika sampai di sana cuaca akan baik. Siapa tahu. Yang penting kami sampai di sana terlebih dahulu.

Pukul sembilan lewat lima belas menit. Kami akhirnya dijemput. Kami menuju Phuket Rassada Port, pelabuhan tempat kapal feri yang akan kami tumpangi berlabuh. Kami sempat singgah sebentar di sebuah hotel menjemput turis yang lain. Sesudah itu, aku tidak mengingat lagi perjalanan. Aku memejamkan mataku. Tidur.

Sekitar pukul sebelas siang, kami tiba di Rassada Port. Pelabuhan tampak tidak terlalu ramai. Ada beberapa turis, tapi tempat itu tampak sepi. Memang, ternyata bulan Mei sebenarnya adalah bukan bulan yang bagus untuk berkunjung ke Phuket. High season di Phuket terjadi pada bulan Juli hingga akhir Januari. Begitu menurut orang-orang yang kuajak bicara di sana. Tapi itu tak masalah buatku, malah menjadi kabar yang cukup menggembirakan. Aku justru tidak terlalu suka jika terlalu ramai. Setelah duduk selama kurang lebih dari setengah jam, akhirnya kapal feri datang, dan kami segera naik ke kapal.

Kami akhirnya berangkat menuju Phi-Phi Island sekitar pukul setengah dua belas siang. Kecemasan masih ada di benakku, karena kapal berangkat agak mundur dari jadwal. Aku cemas kami tidak punya cukup waktu untuk mengejar jadwal kapal ke Maya Bay. Ditambah awan yang cukup mendung, aku juga khawatir cuaca masih belum bersahabat. Untungnya kapal itu cukup nyaman, setiadaknya aku bisa tidur cukup nyenyak menghilangkan rasa cemas dan khawatirku.

Satu setengah jam kemudian kapal feri yang kami tumpangi tiba di Tonsai Pier, dermaga tempat berlabuhnya kapal-kapal yang masuk ke Phi-Phi Island. Siang itu cuaca cukup bersahabat tak seperti yang kami khawatirkan. Matahari bertugas seperti biasanya, menyinari bumi tanpa gangguan awan hitam dan hujan.

Dari Tonsai Pier, Phi Phi Island terlihat dikelilingi oleh air laut yang jernih dan bersih. Warnanya biru muda di tepi pantai, dan biru kehijauan di tengah laut. Lautnya berkilauan diterpa cahaya matahari. Lautan di sekitar Phi-Phi juga dimeriahkan oleh padatnya lalu-lintas perahu dan kapal yang keluar masuk.  

Turun dari kapal, kami segera masuk ke pulau itu. Gerbang bertuliskan “Welcome to Phi-Phi Island” menyambut kedatangan kami. Phi-Phi Island saat itu ramai. Penuh sesak oleh turis bule. Karena waktu sudah menunjukan pukul setengah dua, kami segera mencari agen perjalanan tempat pendaftaran dan pembayaran peserta Maya Bay Camping.

Kami bergerak cepat menelusuri Phi-Phi Island yang tidak terlalu besar. Menurut pengalaman Risty, tempat pendaftaran Maya Bay Camping ada di sebuah restoran bernuansa Jamaika. Tanpa kesulitan berarti, kami menemukan tempat itu.

Seorang pria bule berbadan tinggi besar menyambut kami. Kami bertanya kepadanya mengenai Maya Bay Camping. “Ahh you are looking for May Bay Camping tour. Come follow me.” Ujar bule itu kepada kami sekaligus menyuruh kami agar mengikutinya. Ternyata bukan di tempat itu tempat mendaftarnya. Dulu memang iya, tapi sekarang sudah pindah. Bule itu mengantarkan kami sebuah agen perjalanan yang jadi satu dengan dive tour yang letaknya tidak jauh dari restoran bernuansa Jamaika itu.

Kami segera mendaftar, dan kami beruntung masih ada tempat tersisa. Dan kami juga beruntung karena kapal baru akan berangkat pukul setengah empat sore. Kami belum terlambat. Untuk bermalam di Maya Bay, kami harus membayar 2500 Baht, sekitar IDR 750.000 sudah termasuk sewa kapal, makanan, perlengkapan snorkeling, dan uang masuk Maya Bay. “It’s all set, the boat will leave from Tonsai Pier at 15.30. Look for the reggae boat with yellow, red and green paint. Don’t be late.“ Ujar petugas yang bekerja di agen perjalanan itu menginformasikan kami.

Selanjutnya kami membongkar isi tas ransel kami, memisahkan, dan mengambil barang-barang seperlunya yang akan dibawa ke Maya Bay. Tas ransel kami dititipkan  di sana. Disimpan di lantai atas agen perjalanan itu. Setelah itu, dengan niat untuk sekedar mengecek, kami langsung menuju Tonsai Pier. Terlihat kapal berwarna kuning, merah dan hijau. Di bagian samping kapal itu terlihat tulisan www.mayabaycamping.com. Melihat itu, aku yakin kapal itu yang akan mengantarkan kami menuju Maya Bay.

Kami menyapa seorang kru kapal yang bertugas untuk memastikan. “Excuse me is this the right boat to Maya Bay Camping?” tanyaku kepadanya sambil menujukan kwitansi pembayaran. “Yes! This is the right boat. Let me take your receipt, and here two tickets for bucket drinks.” Jawab kru kapal itu sambil mendaftarkan nama kami dan menukar kwitansi dengan dua buah potongan tiket kecil untuk dua buah minuman. “We still cleaning our boat, please come back at three, the boat will leave around three untill three thirty.” Tambahnya menyuruh kami kembali sekitar pukul tiga sore.

Masih punya waktu sekitar satu jam, kami memutuskan untuk menjelajahi Phi-Phi Island lebih lanjut. Phi-Phi Island dipenuhi oleh restoran, tempat penginapan, agen perjalanan serta banyak mini market. Jalanannya sempit beralaskan paving blok. Cukup nyaman untuk berjalan kaki dan bersepeda. Suasananya ramai namun santai seperti suasana di daerah sekitar pantai pada umumnya.

Cuaca yang cerah mendadak berubah. Awan hitam mulai menutupi wajah matahari yang tadinya berseri. Hujan rintik-rintik pun mulai turun membasahi Phi-Phi. Tanpa banyak memilih, kami memasuki sebuah restoran untuk berteduh sekaligus makan siang.

Setelah selesai menyantap nasi goreng Thailand yang rasanya tak karuan, hujan berhenti. Lagi-lagi kami beruntung, hujan hanya turun sebentar saja dan sinar matahari mulai nampak walau belum terlalu cerah. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan dan menemukan sebuah pantai yang cantik di sana. Tak sulit menemukannya. Hanya berjalan lurus ke arah selatan dari Tonsai Pier. Pantai itu bersih. Pasirnya putih. Panjang dan landai. Air lautnya tenang tak berombak, jernih bewarna biru muda kehijauan. Suasananya damai. Sepi. Hanya ada sedikit pengunjung dan beberapa perahu yang menepi. 

Phi-Phi Island



4. Maya Bay

Pukul tiga sore. Kami kembali ke Tonsai Pier. Kami menuju kapal berwarna kuning, merah dan hijau bernuansa Jamaika yang sebelumnya telah kami hampiri. “Welcome abroad! Please go upstairs” ujar salah satu kru kapal menyambut kami. Di atas kapal terlihat sekelompok turis yang sudah duduk manis. Kemudian seorang wanita bule berkacamata coklat yang rambutnya ditutup topi kupluk dengan senyum ramah menanyakan kwitansi pembayaran kami. “Hi, I’m Jess, your guide. May I see your receipt please?” Tanya wanita itu. “We already exchange it with two tickets for bucket drinks.” Jawabku menjelaskan sambil menunjukan tiket.

“Ohh okay then, it means we already complete, you are the last passengers. We’re all set and ready to go” Ujar wanita itu dengan aksen British yang cukup kental. Tak lama kemudian suara bising mesin kapal mulai terdengar. Getaran mesin kapal sudah terasa. Mesin kapal sudah menyala. Perjalanan menuju surga dimulai.

Tak lama setelah kapal bergerak meninggalkan pelabuhan, dua orang pemandu yang bertugas di kapal itu naik ke atas. Mereka memperkenalan dirinya.

“Hi! Hello everyone! I’m Jess. I came from England. From this afternoon until tomorrow morning I’ll be responsible for this trip. I’ll be your guide. First we’re going to visit Viking cave and then we will have short time to swim or snorkeling. After that we’re going to Maya Bay, our main destinations. We will need about more than hours to arrive at May Bay. So if you guys need anything or want to ask something, please come to me. I would be happy to help. Or you can ask my partner Coco.” Begitu Jess memperkenalkan dirinya. Seorang wanita Inggris yang senyumnya manis. Raut wajahnya gembira. Ceria. Rambutnya pirang, ikal dikepang dua. Tubuhnya mungil. Kulitnya putih namun sudah mulai terlihat coklat kemerahan terbakar sinar matahari.

Pemandu satunya lagi bernama Coco. Seorang pria asli Thailand. Untuk ukuran orang Asia wajahnya cukup tampan. Kulitnya sawo matang. Rambutnya hitam pekat, pendek tak disisir. Berkumis dan berjanggut tipis. Tingginya setinggi rata-rata orang Asia pada umumnya. Badannya atletis. Perutnya kotak-kotak. Lengannya berotot dan dihiasi dengan tato tribal. Sekilas penampakannya mirip atlet tinju kelas bulu.

“Hi evewyone. My name iz Coco. Coco Loco! Heheheh! Lizzzeen up! Today we will vizzit Maya Bay, vewwy beautiful plezz. Zo lizzen cawefully! Fiwzzt we awe going to vizzit Viking cave and then go snowkeling or zwim like Jezz zaid befowe. Aftew that we will go to Maya bay and ztay ovew thewe. We will zee zunset, aftew that we will zet a campfiyew, and have zome gamez. After that we will have dinnew, a local food. I hope you like it! Hehehe! Aftew that you will zleep at the beach ow at the camp. Thewe is no clean watew thewe. Zo you don’t need to take a zhowew. Zhit! Hahaha! In the mowning you guyz will zee zunwise and have a fwee time on the beach. Zo I hope you guyz enjoy youw twip! And becauze you guyz come fwom many countwiez, please wezspect each othewz. Hehehe! Enjoy youw time! And Zhit!! Have fun! Hehehe!” Kira-kira seperti itulah Coco berpidato, menjelaskan itinerary perjalanan sambil meperkenalkan diri. Coco mengoceh dengan Bahasa Inggris seperti orang yang sedang kumur-kumur. Hurus ‘S’ terdengar seperti “Z” dan huruf “R” terdengar seperti huruf “W”. Kurang jelas, namun masih dapat dicerna. Kadang dia berbicara sambil terkekeh sendiri. Dan dia sering mengumpat mengucapkan kata “Zhit” yang membuat kami dan para turis lainnya tertawa geli melihat tingkahnya yang agak gila. sangat cocok dipanggil Loco.

Kapal melaju kencang. Tak terasa kami sudah hampir setengah jam menghabiskan waktu perjalanan. Siang itu, cuaca mulai cerah bebas dari gangguan hujan. Walaupun cuaca bagus, namun ombak tak bersahabat. Ombak membuat kapal bergoncang. Naik kapal kecil sambil digoyang ombak adalah hal yang tidak mengenakan. Isi  perut rasanya seperti diacak-acak. Dikocok-kocok. Membuatku enek. Mual. Ingin muntah.

Tak lama kemudian, kapal perlahan berhenti. Tak terdengar lagi suara bising dari mesin kapal. Kami tiba di Viking Cave, seboah goa yang konon dulu pernah disinggahi oleh bangsa Viking. Goa itu tak terlalu besar. Terlihat ada penduduk yang mendiami tempat itu. Mereka terlihat sedang membersihkan perabot-perabot rumah tangga seperti gelas, piring, panci dan sejenisnya. Menurut Coco, Tempat itu merupakan salah satu penghasil sarang burung walet yang cukup produktif. 

Viking Cave


Kami tak berlama-lama di sana. Kami segera melanjutkan perjalanan. Pemandangan di sana mirip dengan pemandangan di Ha Long Bay, Vietnam. Daerah sekitar Viking Cave itu dihiasi oleh bukit-bukit kapur yang cukup besar. Lautnya hijau kebiruan. Jernih dan bersih. Tidak seperti di Ha Long Bay yang sudah mulai terlihat coklat dan kotor.

Berjarak kurang lebih sepuluh menit dari Viking Cave, kapal kemudian berhenti lagi. “It’s swimming time! Common let’s go!“ seru Jess penuh semangat. Saatnya berenang. Saatnya snorkeling. Dengan perut yang masih mual, aku dengan semangat menyeburkan diri ke laut. Berharap mual akan hilang dan badan akan lebih segar.

Pemandangan bawah laut di sana ternyata biasa saja. Karang-karangnya kurang bagus. Banyak ikan memang, tapi kurang beragam. Tak ada yang istimewa. Di saat kami sedang asik snorkeling, Coco tiba-tiba beraksi. Dari atas kapal ia meloncat sambil salto menyeburkan dirinya ke laut dengan penuh gaya bak atlet loncat indah.

Coco terlihat mengejar sesuatu. Ubur-ubur berwarna ungu kehitaman. Binatang laut itu diburu Coco. Dengan santai ia mendekati ubur-ubur itu dan kemudian menangkapnya dengan tangan kosong tanpa bantuan sarung tangan. Lalu ia memegangnya dan melihatnya dengan seksama. “Oh zhit!! Hehehe! Thiz one not poizonouz, it’z juzt ordinawy jellyfizh. Thiz look deliciouz. Hehehe.” Ucapnya terkekeh geli sambil mengangkat ubur-ubur itu, membuka mulutnya dan seperti ingin memakannya. Kemudian setelah memegangnya cukup lama, ia menutup mulutnya. Tak jadi memakannya, Coco melepas ubur-ubur itu.

“Come on up!! Let’s go! We have to go now!“ teriak Jess dari kapal memanggil kami untuk segera naik ke kapal. Setelah kurang lebih lima belas menit snorkeling, kami segera naik ke kapal mematuhi perintah Jess. Lalu kami mengeringkan badan dan beristirahat sejenak. Tak lama kemudian kapal melaju kembali, melanjutkan perjalanan. Dari sana kami langsung menuju Maya Bay,

Ombak masih belum bersahabat. Ombak masih menggoncang kapal kami cukup kencang. Badanku yang tadinya mulai terasa segar, kini kembali mual. Di saat kami terombang-ambing oleh ombak, Jess menghampiri kami dan menyodorkan sebuah nampan berisi nanas yang dipotong rapi menyerupai kipas.

Tanpa ragu, kucomot buah yang dagingnya berwarna kuning itu dan memakannya. Wow! Nanas itu luar bisa lezat. Rasa manisnya sanggup membuat mata memejam dan mulut bergumam saking nikmatnya. Dashyat. Tak pernah aku merasakan nanas seenak itu. Rasa manisnya menetralkan rasa mual seketika. Asamnya membuat tubuh menjadi segar. Nanas itu jauh lebih ampuh dari obat mabuk laut merek apapun.

Risty pun merasakan hal yang sama. Badannya terasa lebih segar katanya. Menurutnya rasanya juga luar biasa enak. Kami pun sepakat, nanas itu adalah nanas yang paling enak yang pernah kami cicipi.

“Hi everyone please put your life jacket on” perintah Jess kepada kami dan pada saat yang bersamaan kapal berhenti melaju. “Listen up! We already arrive at Maya Bay. Because of low tide, we can’t enter from the front. We have to swim and enter Maya Bay from behind.” Tambah Jess menginformasikan, kami sudah sampai di Maya Bay.

Karena air surut, maka kapal tidak bisa masuk dari depan. Karang-karang yang tajam menjadi penghalang. Maka jalan satu-satunya adalah masuk lewat belakang dan hanya bisa dilakukan dengan satu cara, berenang.

Tak masalah buatku. Malah aku jadi lebih bersemangat. Petualangan jadi lebih mengasyikan. Seru. Seperti Richard di film The Beach yang juga harus berenang dan masuk lewat belakang.

Jess kemudian menyuruh kami mengumpulkan tas dan barang-barang bawaan agar dikumpulkan dan dititipkan kepadanya. Tas-tas itu nantinya akan dibawa oleh kru mereka naik perahu kecil.

Setelah semuanya beres, aku segera mengenakan jaket pelampung, mengencangkan ikatannya dan segera menceburkan diri ke laut. Aku harus berenang kira-kira dua ratus meter dari kapal menuju tepian. “Be caweful with the cowal!” Seru Coco dari kejauhan. Karang memang banyak tedapat disana. Seperti ranjau di medan perang. Tidak jelas terlihat. Tersembunyi namun banyak jumlahnya.

Ketika sudah mendekati tepian, tiba-tiba telapak kaki kananku menghentak karang tanpa disengaja. Keduanya beradu. Karang itu setajam pisau. Berhasil merobek kulit dan membebaskan darahku keluar. Seketika perih mulai terasa.

Dengan sedikit meringis, aku mulai berjalan ke tepian. Perih masih terasa. “Awe you okay man?” Coco nampak cemas.  “I’m fine, just a little cut…I’m okay.” Jawabku tenang. “Let me zee youw foot” tambah Coco. Kemudian dia melihat kakiku dan bereaksi. Dengan ekspresi yang cukup serius dia berkata “Zhit man! Zhit! You awe bleeding!” Mendengar ekspresi Coco yang serius, aku jadi sedikit cemas. Jangan-jangan lukanya parah.

Melihat wajahku yang mulai mengeluarkan ekspresi kekhawatiran, Coco malah terkekeh geli. “Don’t wowwy man! It’s okay! Hehehe! Nothing zewius with that. Just a minow cut. Juzt ztep in to the zands, and it will cuwe you. Welax! Hehehe!” Coco menepuk pundakku.

Setelah menanti selama dua belas tahun aku akhirnya tiba di Maya Bay. Dari pintu belakang, aku mulai menelusuri salah satu taman nasional yang dilindungi oleh pemerintah Thailand itu.

Tak ada air terjun dan tak ada ladang ganja seperti yang dilihat pada film The Beach. Yang ada hanya jalan setapak beralaskan pasir putih, pohon-pohon berdaun hijau, dan rumah petugas penjaga pulau.

Rombongan kami masuk di saat turis-turis mulai meninggalkan pulau itu. Pada saat mereka keluar, kami masuk. Dalam waktu dua belas jam kedepan, Maya Bay akan menjadi milik kami. Tanpa gangguan wisatawan yang lain.

Kami berjalan mengikuti Jess dan Coco. Tak lama kemudian kami tiba di sebuah pondok bambu yang tidak terlalu besar  namun cukup panjang, kira-kira muat ditiduri dua puluh lima orang. Ada semacam pantry di sebelah kiri pondok. Dan juga ada mini bar. Di depan pondok itu tampak sudah disediakan kayu bakar untuk api unggun. “This is where we stayin. This is our base camp. You can also sleep here. This is the place where we gonna have fun tonight.” Jess memberi tahu. Di sekitar pondok itulah, kami akan bersenang-senang. Pondok itu akan menjadi base camp kami selama berada di sana.

Jess kemudian memberikan pengumuman “Now it’s free time, you can go around the beach, watch sunset or else. It’s free time. Please come back to our base camp at seven for dinner. Enjoy your time.” Saatnya waktu bebas. Saatnya menuju pantai. Saatnya merasakan The Beach”.

Aku dan Risty kemudian mengikuti jalan setapak yang ada di sebelah kiri pondok. Dengan bersemangat aku melangkahkan kakiku ringan. Dari kejauhan air laut mulai terlihat. Bukit kapur raksasa mulai nampak. Aku semakin cepat melangkahkan kakiku. Tak sabar ingin sampai pantai itu. Tak lama kemudian akhirnya aku menemukan surga.

Sore itu indah. Matahari sudah tak nampak lagi. Matahari sudah berangkat lebih awal menuju belahan bumi lainnya. Wajahnya tak lagi terlihat. Yang ada hanya seberkas sinarnya yang tersisa dan membuat langit memerah.

Di hadapanku terlihat bukit kapur raksasa yang berdiri megah bagai benteng yang kokoh yang ada di kiri dan kanan. Bagian tengahnya terlihat kosong. Seperti sengaja dibiarkan terbuka agar siapapun yang lewat bisa masuk.

Pantainya landai. Sangat luas dan panjang. Pasirnya putih. Bersih. Tak ada sedikitpun sampah yang mengotori. Sore itu, warna air laut yang biasanya berwarna biru tak terlihat. Lenyap dihapus senja. Karang-karang yang tajam mulai bermunculan, menggantikan air laut yang surut akibat gaya gravitasi benda-benda angkasa. Lautnya terlihat kering, seperti kolam ikan yang habis dikuras.

Meskipun laut terlihat kering dan membuat pemandangan tak seindah yang aku bayangkan, namun tetap saja pemandangan di sana sempurna untuk menikmati senja. Tak ada alasan untuk tidak menikmatinya.

Berada di pantai pada sore hari, memandangi langit yang memerah, membiarkan kakiku yang telanjang menginjak pasir, merelakan tubuhku tertiup angin, melihat burung-burung beterbangan, serta mendengar suara air laut mencumbu bibir pantai, membuatku merasakan surga. Rasanya nikmat. Penuh dengan kedamaian. Menyejukan jiwa. Bagiku, tak ada tempat yang lebih baik selain pantai untuk menikmati senja.

Maya Bay di Kala Senja


Habis sore, terbitlah malam. Saatnya kembali menuju base camp. Biasanya setelah melakukan aktifitas seharian, hal pertama yang dilakukan adalah mandi. Dari base camp, aku pun segera menuju toilet/kamar mandi yang letaknya kurang lebih tiga ratus meter. Tapi apa boleh buat, di sana tidak ada fasiltas air bersih. Ada air, namun airnya asin dan lengket tidak sebagus air tanah. Aku hanya bisa membersihkan badan seadanya. Hasilnya kurang maksimal. Badan bersih tapi masih menyisakan rasa lengket di kulit.

Toilet yang tersedia juga apa adanya. Kotor, penuh pasir, dan WC-nya penuh dengan karat. Untuk buang air kecil masih masuk akal, tapi untuk buang air besar aku akan berpikir dua kali.

Kembali ke base camp, api unggun terlihat sudah menyala. Para rombongan sudah duduk manis melingkari api itu. Kami pun segera begabung besama mereka.

Sambil menunggu makan malam, kami mulai membaur dan mulai memperkenalkan diri. Mereka kebanyakan tidak menyebutkan nama, hanya satu dua orang yang menyebutkan nama, yang lain hanya memberi tahu asal mereka saja.

Ada empat orang Inggris, empat orang Amerika Serikat, tiga orang India, dua orang Irlandia, dua orang Spanyol, dua orang Perancis dan dua orang Indonesia. Total ada 19 orang peserta termasuk aku dan Risty.

Suasana mulai hangat. Kami mulai berbincang, bertukar cerita satu sama lain Di sebelah kananku ada Henry, seorang pria asal Inggris. Badannya kurus.  Rambutnya hitam. Alisnya tebal. Gayanya slengean. Cuek. Mulutnya tak pernah kehabisan energi untuk bicara. Cerewet, seperti bebek yang lagi galau. Henry datang bersama kedua temannya. Dua wanita asal Amerika Serikat. Kedua wanita itu murah senyum namun pendiam.

Di sebelah mereka ada sepasang kekasih asal Spanyol. Mereka lebih sibuk dengan diri mereka sendiri dan terlihat kurang bersemangat untuk membaur. Setelah itu ada tiga orang pria asal India. Ketiganya berbadan besar berkulit gelap. Mereka juga terlihat sibuk dengan diri mereka sendiri, mungkin karena kendala bahasa. Mereka hanya asik ngobrol bertiga.

Di samping kanan kelompok India, ada sekelompok anak muda asal Inggris. Dua wanita dan satu pria. Yang pria rambutnya pirang. Keriting, mirip mie instan. Yang wanita, satu berambut keriting pirang, agak gemuk berkulit bintik bintik merah seperti kebanyakan orang Inggris. Satunya lagi berambut hitam panjang sebahu, tinggi besar dan punya senyum yang sangat manis. Mereka masih sangat muda dan terlihat bersemangat.

Di sebelah mereka ada pasangan kopi susu asal Amerika Serikat. Yang pria berkulit hitam, badannya kekar berotot, mirip anggota Navy Seal pada film-film Holywood. Yang wanita, berkulit putih. Tinggi semampai. Manis. Pasangan itu benar-benar tak mau membaur. Hanya sekali mereka melempar senyum kepada peserta yang lain. Setelah itu mereka asik tidur-tiduran sambil berpelukan, tak peduli dengan yang lainnya seakan Maya Bay hanya milik mereka berdua.

Tak jauh dari pasangan asal Amerika itu, ada dua wanita Perancis yang cantik. Keduanya berambut hitam. Yang satu panjang terurai hingga menyentuh punggung, yang satunya lebih pendek hanya sebatas leher mendekati pundak. Keduanya seksi. Yang rambutnya lebih pendek hanya mengenakan bikini hitam sedangkan yang satunya lagi mengenakan kutang berwarna hijau dan celana pendek hitam.

Pasangan suami istri asal Irlandia melengkapi peserta Maya Bay Camping malam itu. Mereka terlihat menikmati api unggun walau tak banyak berbicara.

Tak lama kemudian Coco memanggil kami semua, makan malam sudah siap. Menu makan malam pada malam itu adalah nasi, ayam rebus ala Thailand, dan sayur campur juga khas Thailand yang sekilas penyajiannya mirip sayur lodeh. Rasanya cukup aneh namun masih bisa dipahami lidah.

Setelah makan malam selesai, Jess dan Coco mengajak kami semua main ke pantai untuk melihat plankton, organisme laut tumbuhan atau hewan yang sangat halus, yang merupakan makanan utama ikan. Malas terkena air laut lagi karena sudah bersih-bersih, aku dan Risty hanya berjalan di sepanjang pantai dan duduk sejenak menikmati hembusan angin laut.

Selanjutnya kami kembali ke base camp. Kami kembali berkumpul mengitari api unggun. Coco sudah siap dengan gitarnya. Aku siap mendengarkan dan siap menyanyi jika lagunya aku kenali. Coco mulai memetik gitarnya yang butut dan mulai bernyanyi.

“Anothew tuwning point a fowk ztuck in the woad…Time gwabs you by the wwizt, diwectz you whewe to go…..” Bermodalkan suara cempreng yang sedikit serak, Coco mulai bernyanyi sambil memetik gitarnya. Sebuah lagu dari Greenday berjudul “Good Riddance (Time of Your Life)” menjadi tembang pembuka malam itu.

Para peserta camping mulai terlihat menikmati, walaupun tak semuanya ikut bernyanyi. Awalnya hanya aku, Risty dan sekelompok anak muda dari Inggris saja yang mulai latah bernyanyi. Yang lain hanya mendengarkan, mungkin karena tidak tahu lagunya.

Coco teus bermain gitar dan bernyanyi mendendangkan cukup banyak lagu. Coco membawakan lagu-lagu yang populer di tahun 90-an dan beberapa tembang classic rock. Lama kelamaan suasana makin terasa menyenangkan. Para peserta camping yang lain mulai terpancing untuk ikut bernyanyi. Keakraban mulai terbentuk. Kami semua bernyanyi sambil sesekali tertawa mendegar Coco, yang kadang serius kadang tidak dalam bernyanyi. Kadang di tengah lagu, tiba-tiba ia terkekeh sendiri. Entah kenapa. Mungkin menertawai dirinya sendiri yang sedikit gila.

“Listen up guys, now you can exchange your ticket with a bucket. Please go to mini bar” Di tengah-tengah suasana karaoke akustik itu, Jess memberi tahu, Bucket sudah tersedia. “Bucket is some kind of Thailand traditional drinks. Don’t drink too much, it will makes you drunk…hihihi..” Jess tertawa nakal. Dari informasi yang diberikan oleh Jess, minuman itu sudah pasti mengandung alkohol.

Aku dan Risty memutuskan untuk tidak mengambil minuman itu. Aku tidak ingin mabuk dan merusak kenikmatan yang aku rasakan di sana. Aku ingin menikmati malam itu dengan sadar, tanpa pengaruh alkohol. Sementara itu peserta camping yang lain sangat bersemangat mengambil minuman itu.

Setelah meminum bucket, para peserta camping itu tampak mulai panas. Henry, pria asal Inggris yang gayanya slengean sepertinya mulai mabuk. Ia yang sebelum minum sudah cerewet, kini makin aktif berkicau. Dua wanita cantik asal Perancis yang berpakaian seksi juga sudah mulai bertingkah. Mereka mulai tertawa cekikikan dan sesekali berteriak ke Coco “We want French Song! Come on Coco play some French Song!”

Suasana makin seru. Makin banyak yang bernyanyi dan makin keras suaranya. Sangat menyenangkan bernyanyi bersama orang-orang dari mancanegara sambil dihangatkan oleh api unggun dan diterangi bulan. Rasanya damai, seolah tak ada perbedaan diantara kami. Rasa hormat dan persahabatan menyatukan kami. Betul-betul menyenangkan. Seandainya saja dunia ini seperti itu. Bersatu. Damai. Saling berbagi kebahagian tanpa terpengaruh perbedaan. Alangkah indahnya.

Setelah cukup lama bernyanyi, Coco terlihat lelah dan mulai kehabisan ide tak tahu harus membawakan lagu apa lagi. Ia kemudian meninggalkan gitarnya dan beristirahat. Jess kemudian mengambil alih dan mengajak kami semua bermain kartu. Permainan yang dibuat oleh Jess cukup menyenangkan. Semua peserta cukup mengambil sebuah kartu dan setiap angka yang muncul punya perintah dan makna tertentu.

Aku mengambil kartu dan mendapat angka 5. Angka itu berarti aku harus membuat peraturan. Semua peserta harus mengikuti apa yang aku instruksikan. “Let’s drink without using hands!” Ujarku memberi perintah. Dan semua peserta mulai meminum minumannya tanpa menggunakan tangan dengan gayanya masing-masing.

Jess kemudian mengambil kartu dan mendapat kartu bergambar Queen, yang artinya semua wanita harus minum. Dan masih banyak perintah lainnya dibalik kartu yang diambil. Begitu seterusnya kami bermain sambil ditemani musik yang bersumber dari ipod salah satu peserta yang dihubungkan ke sebuah speaker.

Aku dan Risty duduk dekat tiga orang pemuda asal Inggris. Kami paling sering bernyanyi bareng dengan mereka. Dari semuanya, mereka adalah yang paling nyambung dengan kami.

Kami mulai ngobrol dan berkenalan dengan mereka. Matthew, Shannon dan Ema. Matthew tentu saja yang pria, sedangkan Shannon gadis yang berambut hitam, sementara Ema yang berambut pirang. 

Sambil menikmati permainan dan playlist lagu yang menyejukan, aku dan Risty melanjutkan ngobrol dengan ketiga pemuda asal Inggris itu. Bagiku berbincang dengan turis asing adalah salah satu kegiatan yang paling mengasyikan dalam travelling.

Anak-anak muda asal Inggris itu bercerita kalau mereka tidak bersama-sama dari awal. Dari Inggris mereka berangkat masing-masing dan belum mengenal satu sama lain. Mereka ternyata baru kenal dan bertemu di Bangkok dan kemudian memutuskan untuk berpetualang bersama.

Perbincangan semakin seru ketika Shannon terkejut mendapati kami mengetahui lagu-lagu yang dipasang malam itu. “Oh My God! You guys knows Temper Trap? Seriously??” Shannon terkejut ketika melihat kami ikut menyanyikan lagu Sweet Disposition milik Temper Trap yang kebetulan sedang berkumandang. “I thought nobody knows them, but you guys know! Cool! “ tambahnya. Shannon tambah terkejut ketika kami memberi tahu kepadanya kalau vokalis Temper Trap itu orang Indonesia.

“So this is your playlist? Cool! Great songs! I love it” Aku memuji pilihan lagu Shannon yang enak didengar. Kebanyakan lagu-lagu akustik bertempo pelan. Sangat pas dengan suasana santai. “Ahh finally someone like my playlist! Thanks!” Shannon tampak puas, sepuas anak kecil yang mendapat nilai bagus pada saat ujian.

Kami melanjutkan perbincangan. Shannon bercerita, ia sedang cuti. Bukan Cuti kerja tapi cuti kuliah sehabis lulus SMA. “My mom told me, you’re still young. Do something fun, explore the world, enjoy your life…and I was like… yeah you’re right mom! Let’s travel around the world! So here I am travel to Asia want to find out what the world looks like…” Mendengar itu Matthew dan Emma menganggukan kepala mereka, setuju. “My parents told me the same” tambah Matthew.

Aku cukup terkejut. Pikiran orang tua mereka sangat terbuka, malah menyarankan agar anaknya jalan-jalan melihat dunia selagi masih muda. Bahkan mengizinkan anaknya tidak kuliah dulu. Di Indonesia, sangat sulit untuk menemukan orang tua yang seperti itu.

“I pick Asia! Because it’s cheap and Asia is the place where the sun rises! Heaven! After Thailand I’m going to Cambodia and then to Bali, Indonesia.” Shannon melanjutkan perbincangan. Matahari memang menjadi incaran utama bagi orang Inggris seperti Shannon, di Inggris sana, matahari malas keluar. Di Inggris, awan mendung lebih rajin datang ketimbang matahari. Orang-orang Inggris sangat mendambakan matahari. Jadilah Asia menjadi tujuan plesiran mereka.

Selain berbincang, kegiatan yang paling aku nikmati jika jalan-jalan ke luar negeri adalah mengamati tingkah laku dan gerak-gerik orang-orang yang berada di sekitarku, entah itu warga setempat ataupun turis-turis asing.

Diantara peserta camping malam itu, yang menjadi perhatianku adalah gerak-gerik dua wanita seksi asal Perancis dan kelakuan dua orang penjaga pulau yang sepertinya sedang berusaha keras untuk mendekati dan merayu mereka dengan maksud dan tujuan tertentu.

Kedua penjaga pulau itu wujudnya seperti beach boy di pantai Kuta. Keduanya berkulit coklat gelap mengkilap. Yang satu badannya cukup ideal. Masih muda. Berotot. Tampak penuh energi. Yang satu lagi sedikit lebih berumur. Badannya juga berotot, namun lemaknya mulai banyak terlihat, apalagi di bagian perut yang mulai membuncit. Rambutnya panjang dikuncir kuda dengan posisi kuncir tepat diatas kepala, bukan di belakang. Warnanya coklat kepirangan entah habis dicat atau gara-gara terlalu sering kena sinar matahari. Wajahnya? Jauh dari tampan.

Mereka mendekati kedua wanita Perancis dengan gigih. Mereka terlihat sangat perhatian. Mereka tak pernah jauh-jauh dari kedua wanita itu. Menempel terus dengan ketat. Mereka tak sungkan-sungkan memberikan bunga atau sekedar mengambilkan minuman. Apapun yang kedua wanita itu butuhkan, mereka siap membantu.

Anehnya, perhatian dua orang penjaga pulau itu hanya tertuju kepada dua wanita cantik asal Perancis itu. Kalau hanya beramah tamah dan mencari teman, kenapa perhatian mereka hanya tertuju kepada dua wanita itu saja? Dengan yang lain tidak begitu. Memang harus diakui, diantara peserta yang lain, kedua wanita Perancis itu memang yang paling menggoda. Mungkin itu alasannya, atau mungkin karena yang lain datang berpasangan dan setidaknya ada satu pria di kelompok masing-masing, sedangkan dua wanita Perancis itu tak ada laki-laki yang menjaganya.

Terlintas di benakku mungkin tujuan mereka adalah mencari teman tidur. Entahlah. Bisa saja begitu. Siapa tahu. Yang jelas mereka sangat gencar melemparkan rayuan. Giat. Agresif. Tak kehabisan akal. Seperti seorang sales asuransi yang sedang meracuni calon nasabahnya dengan janji manis keunggulan produknya.

Yang menggelikan, kedua wanita Perancis itu tampak cengar-cengir saja. Mereka tertawa. Entah apa mereka bicarakan. Mungkin kata-kata manis, gombalan atau guyonan, yang jelas kedua wanita Perancis itu nampak senang. Mereka menerima serangan dua penjaga pulau itu tanpa perlawanan. Kedua wanita Perancis itu seperti gadis SMA yang sedang dirayu oleh kakak kelas pujaannya. Tak berkutik. Tak berdaya. Hanya bisa tersipu malu dan melemparkan senyum manja.

Peserta yang lain tampak kalem, hanya berbicara dengan kelompoknya saja. Hanya Henry yang masih berkoar-koar dan bersuara lantang. Sepertinya efek alkohol sudah mulai menyebar di seluruh tubuhnya. Sementara itu pasangan kopi susu asal Amerika Serikat sudah lenyap entah kemana. Mereka sepertinya memang tak peduli dengan yang lain dan hanya ingin menikmati dunianya sendiri.

“Lizzen up!! In a few minutes me and two of my fwiends will pewfowm fiwew ztick zhow!! Be weady!! Heheheh!!” Seru Coco sambil melakukan pemanasan bersama kedua rekannya. Mereka mulai berlatih dan memutar-mutar tongkat yang panjangnya kira-kira 100cm.

 “Hey Englizh Giwl!! Do you have any weggae zongz??” Coco meminta lagu reggae kepada Shannon yang kebetulan membawa ipod berisi banyak lagu. “Nope… I don’t have any reggae songs…I’m sorry… ” Shannon menggeleng.

“Zhit! No weggae zongz!” Coco mulai gelisah. Ia mulai kebingungan. Sepertinya tanpa musik reggae ia tidak bisa beraksi dengan maksimal. “hmm… juzz gimme upbeat tempo zongz!” Ujarnya pasrah kepada Shannon.

Shannon kemudian mengecek ipodnya, dan memilih lagu-lagu bertempo cepat sesuai permintaan Coco. Tak lama kemudian musik-musik trance bertempo cepat mulai terdengar dari speaker. Coco kemudian membakar tongkatnya dengan api, melangkahkan kaki dan memulai pertunjukan.

Dengan percaya diri dan tanpa sedikitpun rasa takut, Coco mulai memutar-mutar tongkat berapi itu dengan lihai. Api sepertinya bukan hal yang mengerikan buat Coco. Ia terlihat menyatu dengan tongkat api itu. Mereka seperti berteman. Akrab.

Coco memutar tongkat api itu dengan cepat, sehingga tongkat itu membentuk sebuah lingkaran. Ia memindah tongkat itu dari depan ke belakang, dari kiri ke kanan dan terkadang melempar tongkat itu ke atas dan menangkapnya. Coco sangat mahir memainkan tongkatnya, semahir Bruce Lee memainkan Nunchaku (tongkat kayu ganda berantai).

Dengan pandangan mata masih tertuju kepada dua wanita Perancis, kedua orang penjaga pulau itu mulai mengambil tongkat, membakarnya dan bergabung dengan Coco. Mereka memulai aksinya, bermain tongkat api. Mata dan pandangan mereka masih tertuju kepada dua wanita Perancis itu. Seakan mereka khusus mempersembahkan aksinya untuk kedua wanita itu.

Kedua orang itu cukup mahir tapi kemampuan mereka jauh di bawah Coco. Mereka tidak selihai dan seahli Coco. Tak jarang tongkat mereka terjatuh. Gerakan badannya juga kurang luwes. Kaku. Mungkin karena musik pengiringnya bukan reggae, jadi mereka kurang rileks. Atau mungkin fokus mereka sudah dirampas oleh dua wanita Perancis itu, jadinya kurang konsentrasi. Meski demikian, mereka tetap berhasil membuatku dan peserta camping yang lain terhibur.

Pertunjukan Tongkat Api


Duduk diatas pasir, dihangatkan oleh api unggun, sambil menyaksikan atraksi tongkat api dengan suasana penuh tawa sungguh menyenangkan. Suasananya hangat. Santai. Penuh dengan kegembiraan. Apalagi malam itu bulan purnama menyinari. Bintang-bintang pun bertebaran di langit. Malam itu sempurna.

Tak terasa, sudah hampir tengah malam. Rasanya masih ingin terus menikmati malam, tapi apa boleh buat, mau tak mau malam harus berlalu dikalahkan waktu. Tubuh pun sudah mulai lelah dan butuh istirahat. Saatnya tidur.

Malam itu cuaca cerah. Tidak ada tanda-tanda bakal hujan. Aku dan Risty memutuskan untuk tidur di pinggir pantai. Kami mengambil perlengkapan seperlunya dan segera bergegas ke pantai.

Tak ada kasur yang empuk di sana. Yang ada hanya sleeping bag tipis dengan bantal seadanya. Tak ada pendingin ruangan. Yang ada hanya angin laut yang menyejukan. Tak ada cahaya bohlam yang menerangi. Yang ada hanya bulan purnama beserta cahaya bintang. Tak ada atap yang melindungi. Yang ada hanya langit yang memayungi.

Namun itu semua justru membuat tidurku sangat nikmat. Sungguh nikmat tidur di pinggir pantai, beratapkan langit yang penuh bintang, beralaskan pasir, disejukan oleh angin laut, sambil mendengar suara ombak yang bergemuruh. Rasanya seperti bersatu dengan alam. Luar biasa nikmat. Rasanya jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan tidur di hotel bintang lima sekalipun. Rasanya sangat tentram. Damai. Mungkin itu rasanya surga.

Aku pun menutup mata dan berharap esok hari, aku akan dibangunkan oleh hangatnya sinar matahari.

Hujan. Sesuatu yang aku khawatirkan sebelum berangkat, terjadi. Titik-titik air yang berjatuhan dari langit membangunkanku. Kutengok jam tanganku, hanya tiga puluh menit aku tidur. Hujan mengganggu tidurku. Seketika, hujan merampas kedamaian yang aku rasakan. Hujan turun pada saat yang tak terduga. Pada saat aku sedang tak terjaga.

Hujan makin deras, angin bertiup makin kencang. Aku dan Risty tak punya pilihan. kami segera merapihkan sleeping bag dan segera berlarian menuju ke base camp. Akhirnya kami berteduh di pondok, menunggu hujan untuk segera berlalu.

Sepuluh menit kumenanti, hujan belum mau pergi. Hujan masih setia turun membasahi bumi. Dua puluh menit berlalu, hujan belum juga selesai bertamu. Ia masih saja mengganggu.

Aku menyerah. Akhirnya kuputuskan untuk tidur di pondok base camp. Jess kemudian menghampiri kami dan menayakan apakah kami butuh sesuatu. “Too bad the rain is falling, bad timing isn’t? you better just sleep here.” Ujarnya ramah.

Karena badan sudah terasa sangat lelah kami segera tidur, bergabung dengan para peserta camping yang lain yang juga memutuskan untuk tidur di sana. Aku mulai memejamkan mata, sambil berharap hujan tak akan menggangu lagi di pagi hari. Diiringi suara rintik-rintik hujan yang seakan sedang membacakan dongeng buatku, aku akhirnya tertidur.

Tepat pukul lima pagi, suara menggangu dari alarm ponselku membuatku terbangun. Alarm sengaja kusetel pukul lima pagi, agar aku punya banyak waktu untuk menikmati pulau kecil itu. Pagi itu masih gelap. Tak ada bedanya dengan malam. Langit masih berwarna hitam. Tapi beruntung, hujan sudah lenyap.

Aku dan Risty kemudian segera berlari menuju bagian belakang pulau untuk menanti datangnya sinar mentari. Tiga puluh menit kami di sana, langit yang tadinya gelap, perlahan-lahan mulai berubah menjadi cerah. Kehangatan mulai terasa. Namun, matahari belum juga menampakan diri. Wajahnya yang berseri tidak terlihat, mungkin karena terhalang oleh bukit kapur yang memagari.

Hingga pukul enam pagi, meskipun sinarnya sudah mulai mencerahkan langit, namun wajahnya belum juga kelihatan. Sepertinya ia enggan menampakan diri. Mungkin hari itu ia sedang ingin bekerja di belakang layar. Tak kelihatan namun tetap berfungsi. Tak masalah buatku asalnya sinarnya tetap mendominasi langit dan tak terganggu awan-awan hitam. Asalkan tidak hujan, itu sudah cukup buatku.

Aku dan Risty segera meninggalkan bagian belakang pulau dan segera menuju ke bagian depan. Di sanalah terdapat pantai yang dilihat oleh Richard di film The Beach. Pantai yang menjadi alasan mengapa aku berkunjung ke sana. Pantai dengan pemandangan seindah surga.

Sesampainya di sana, aku terpana. Pantai itu sungguh indah. Pemandangannya memukau. Membuatku berdecak kagum. Walau bentuknya tidak sama persis dengan apa yang kulihat di film The Beach, tapi pemandangan pagi itu sungguh berhasil membuatku terpesona.

Pagi itu sempurna. Air laut tak lagi surut seperti ketika aku tiba kemarin sore. Kini airnya sudah pasang, menutupi karang-karang yang kini tak terlihat lagi. Warna air lautnya sudah kembali. Tak gelap lagi. Warnanya biru turquoise. Indah. Menyejukan mata. Apalagi pada saat diterpa sinar matahari, tingkat kecantikannya meningkat dua kali.

Pagi itu, pantai hanya dimiliki oleh peserta camping, bebas dari keramaian. Tak terganggu oleh kerumunan turis massal.  Suasananya tenang. Tentram. Sepi. Bebas dari gangguan suara bising. Yang ada hanya suara angin, kicauan burung dan gemuruh ombak yang memanjakan telinga.

Kutelusuri pantai dari sisi kanan hingga ujung kiri. Kuhirup udara pagi yang segar. Bersih. Bebas polusi. Baik untuk konsumsi paru-paru.

Sepanjang pantai aku berlari riang, bertelanjang kaki tanpa ada siapapun yang menghalangi. Sesekali aku melipir ke tepi, hanya untuk membasahi kaki dan sesekali menampari air laut membuat suara kecipak-kecipuk. Rasanya bebas. Lepas. Puas.

Setelah lelah kuberlari, kulemparkan badanku ke pasir yang putih dan lembut, seputih dan selembut bedak bayi. Sambil berbaring, kupandangi bukit kapur, air laut, langit cerah tanpa rasa bosan sedikitpun. Aku terpaku. Tak bisa berhenti memandangi.

Lalu aku duduk santai sambil sesekali menjepret kameraku. Aku masih memandangi pemandangan pantai yang menakjuban itu. Aku belum bosan. Tak pernah jenuh. Rasanya tak ingin pergi. Aku ingin terus berada di sana. Selama mungkin. Duduk dan tak melakukan apa-apa. Merasakan surga. 

"The Beach" Maya Bay


Waktu menunjukan pukul delapan pagi. Jess memberi tahu kami agar bersiap-siap karena sebentar lagi kami akan segera meninggalkan pulau itu. Tak terasa seratus dua puluh menit berlalu. Sangat singkat. Entah kenapa di tempat-tempat yang penuh kedamaian, di tempat-tempat yang indah, waktu sepertinya berjalan lebih cepat.

Sebelum pergi Jess menyuruh kami sarapan. Dengan berat, aku berdiri kemudian melangkah menuju tempat sarapan. Kuhampiri sebuah meja panjang yang terbuat dari triplek seadanya. Di atas meja itu tersedia roti panggang, selai kacang, segelas coklat panas, kopi, teh dan buah-buahan termasuk nanas Thailand favoritku. Setelah menghabiskan sarapan, aku langsung berkemas. Pukul setengah sembilan pagi. Waktunya untuk meninggalkan Maya Bay.

Berat rasanya, tapi aku harus pergi. Sebelum pergi, kami semua peserta camping berfoto di sana. Mengabadikan kebersamaan kami. Total peserta camping tinggal tujuh belas orang. Pasangan kopi susu asal Amerika Serikat ternyata sudah pergi dari pagi hari. Mereka berangkat terlebih dahulu.

One, two, three!! Smile!!! Okay one more time…this time you guys jump. Ready?? One, two, three JUMP!!!“ Aba-aba dari Jess mengarahkan gaya kami. Kemudian kami bertujuh belas melompat dengan gaya masing-masing. Hasilnya sungguh mengesankan. Apalagi foto pada saat kami semua berpose sambil melompat, melihatnya selalu membuatku mengembangkan senyum. Di foto itu terpancar energi kebahagiaan, penuh dengan kegembiraan. Foto yang akan selalu kusimpan karena penuh dengan kenangan. 

Lompatan Ceria :)


Sebenarnya aku masih ingin berada di sana, tapi waktu tak mengizinkan. Maya Bay harus kutinggalkan. Aku dan peserta camping yang lain segera bergegas menuju pintu belakang pulau itu. Sama dengan cara kami masuk, kami harus berenang. Dengan berat kuceburkan diriku ke laut, mengayunkan tanganku, menggerakan kakiku, berenang menuju kapal. Tak lama kemudian, mesin kapal menyala. Kapal pun mulai bergerak menuju Phi-Phi.

Selamat tinggal Maya Bay. Suatu hari nanti aku ingin kembali. Mengunjungi pantaimu yang berlimpah dengan pesona. Merasakan kembali indahnya surga.



5. Phi Phi View Point

Sekitar pukul setengah sebelas kami kembali tiba di Phi-Phi. Hal pertama yang aku dan Risty lakukan setelah pamit dengan Jess, Coco dan peserta camping lainnya adalah segera menuju agen perjalanan untuk mengambil tas yang kami titipkan. Selanjutnya kami beristirahat sejenak di tempat itu kemudian membeli tiket feri pulang ke Phuket serta tiket minibus service untuk menuju ke daerah Kata/Karon, sebuah lokasi pantai yang menjadi tujuan wisata kami selanjutnya. Dari Phi-Phi, kami dijadwalkan menyeberang ke Phuket pukul setengah dua siang.

Masih punya banyak waktu untuk menunggu, kami sekali lagi menjelajah Phi-Phi. Risty menyarankan agar aku melihat Phi-Phi Viewpoint, sebuah tempat di atas bukit dimana kita bisa melihat Phi-Phi dari ketinggian. Menurut pengalaman Risty, di atas sana pemandangannya cukup elok.

Untuk mencapai Viewpoint dibutuhkan sedikit usaha ekstra. Dibutuhkan lebih dari tiga puluh menit berjalan kaki untuk mencapainya. Walaupun jaraknya tidak terlalu jauh, tapi medannya cukup berat. Kami harus melalui tanjakan-tanjakan curam dan menaiki anak tangga yang sangat banyak jumlahnya. Melelahkan.

Tapi sesampainya di atas, tak ada penyesalan sedikitpun. Apa yang dilihat di atas sana dapat menghibur mata. Pemandangannya cukup memesona. Akibatnya, rasa lelah lenyap seketika.

Bersama turis-turis yang cukup banyak jumlahnya, aku duduk santai di atas sana. Menikmati pemandangan itu. Di atas sana tak banyak opsi, hanya bentuk pulau Phi-Phi yang bisa dinikmati. Namun demikian pemandangannya sanggup menyenangkan hati.

Dari atas, terlihat bentuk pulau Phi-Phi yang cantik. Daratannya membelah lautan menjadi dua. Yang kiri, warna lautnya biru tua. Ramai disesaki oleh kapal-kapal yang dari atas terlihat seperti titik-titik berwarna putih. Yang disebelah kanan berwarna biru muda. Terlihat lebih sepi. Di belakangnya terdapat bukit besar, panjang dan luas yang penuh oleh tumbuhan bedaun hijau.

Itu saja yang bisa dinikmati. Tapi cukup buatku untuk bilang kalau tempat itu adalah tempat yang wajib dikunjungi di Phi-Phi.

Setelah puas memandangi Phi-Phi dari atas bukit, kami segera turun dan mencari makan. Waktunya makan siang. Banyak sekali restoran di Phi-Phi. Tapi anehnya, kebanyakan didominasi oleh restoran yang menyajikan masakan Eropa.

Tak tahu lagi harus makan di mana, akhirnya kami memutuskan untuk makan di sebuah restoran Italia. Tak mau mencoba yang aneh-aneh. Satu pan pizza berisi delapan potong menjadi pilihan kami.

Pizza yang disajikan tipis dan kering. Konon di Italia sana, pizza asli seperti itu. Tidak seperti kebanyakan restoran pizza cepat saji di Indonesia yang banyak menggunakan roti tebal.

Pizza yang kami pesan itu ternyata rasanya enak. Mengejutkan. Tak kusangka sebelumnya. Rotinya garing. Renyah. Topping pizza yang terdiri dari potongan daging giling, sosis dan parutan keju sukses membuat lidahku kegirangan. Lezat.

Selesai makan siang, kami segera menuju dermaga, meninggalkan Phi-Phi menuju kembali ke Phuket.

Phi-Phi Viewpoint



6. Jinta Andaman & Pantai Kata

Setelah menempuh dua jam perjalanan dari Phi-Phi, kami tiba kembali di Phuket. Seorang supir minibus service sudah hadir menjemput kami di Rossada Port.

Kami langsung menuju hostel incaran kami, Jinta Andaman yang terletak di daerah Kata-Karon Phuket. Kami belum booking sebelumnya. Kami hanya sempat mengecek dari warung internet di Phi-Phi. Melihat masih banyak kamar yang tersedia di hostel itu, dengan percaya diri kami menuju ke sana. Tanpa kepastian dapat kamar.

Kurang lebih satu setengah jam kemudian, supir minibus mengantar kami tepat di muka Jinta Andaman Hostel. Dari luar, hostel itu tampak meragukan. Bangunan hostel itu semacam ruko bertingkat dan tidak terlalu besar. Hanya bangunan sederhana. Selain itu, yang membuatku ragu adalah sepinya meja resepsionis. Tak ada seorang pun yang menjaganya. Membuatku bertanya-tanya, apakah ada kehidupan di sana?

“Excuse me! Excuse me!...Hallo, is anybody there??” Aku berusaha mencari orang, siapapun yang ada di sana. Kucoba berkali-kali, masih juga belum ada yang menyahut. Aku jadi ragu. Mungkin yang kulihat di internet hanya trik promosi belaka.

Tak lama kemudian seorang pria yang rambutnya mulai beruban datang menghampiri kami. “Hallo! I’m sorry, I was just cleaning up, so I don’t hear you guys. Is there anything I can do for you?” Pria itu menyapa kami. Kemudian kami berbincang dan menanyakan kepadanya apakah ada kamar yang tersedia. Tanpa panjang lebar, pria itu menawarkan sebuah kamar.

“I have Superior Double Bed Private for you, it’s 300 Baht per night.” Ujar pria yang ternyata adalah pemilik hostel menawarkan. “Can we see the room?” Tanya Risty cepat. Kemudian pria itu mengantar kami ke sebuah kamar di lantai dua. Dengan harga 300 Baht atau sekitar IDR 90.000 per malam, apa yang kulihat melebihi harapan. Kamar itu bersih, sangat nyaman. AC, TV flat layar 21 inci, kulkas kecil, lemari, kasur yang empuk menghiasi kamar itu. Toiletnya pun sangat bersih. Kamar itu adalah salah satu kamar hostel dengan harga dan kualitas tebaik yang pernah aku temui.

“Okay we’ll take this room” Ucap kami pasti, mengiyakan tawaran pria itu tanpa pikir panjang. Setelah beres mengurus administrasi pembayaran, kami segera masuk kamar dan langsung mandi membersihkan badan yang sudah lebih dari 24 jam tidak dibersihkan secara layak.

Mandi sudah, kini tinggal lelah yang tersisa. Aku membaringkan badanku sejenak di kasur, beristirahat sambil menikmati kamar yang nyaman. Aku beruntung, pikirku. Dengan harga yang sangat murah, aku bisa mendapatkan kenyamanan seperti itu.

Kutengok jam tanganku, pukul lima lewat lima dua puluh menit. Aku dan Risty segera keluar kamar, berusaha memanfaatkan waktu yang terbatas untuk menikmati daerah sekitar hostel. Kami segera turun menghampiri pemilik hostel itu dan bertanya “Where is the beach? Kata beach” Dengan ramah pria itu menjawab “ Oh it’s easy, just go straight, and then turn right, after that you just go straight and just see the sign..it’s only 10 minutes from here.”

Kami mulai berjalan kaki. Daerah sekitar hostel itu seperti kompleks perumahan. Suasananya tenang. Jauh dari hingar bingar. Cocok untuk tempat tinggal. Beberapa blok dari hostel terdapat satu jalan yang dipenuhi oleh bangunan bergaya Eropa. Di sepanjang jalan terdapat bunga-bunga berwarna cerah dan dihiasi oleh bangku taman. Atmosfirnya membuatku serasa berada di Eropa.

Setelah mampir sebentar di sebuah mini market untuk membeli makanan ringan dan air minum, kami terus berjalan dan tiba di sebuah perempatan. Di depan kami ada sebuah jalan kecil yang berdampingan dengan sebuah kali. Menurut papan penujuk jalan yang ada di depan kami, jalanan itu menuju sebuah pantai bernama Kata. Kami menyebrang dan menelusuri jalan itu. Tak lama kemudian kami tiba di pantai Kata.

Sore itu, Pantai Kata ramai pengunjung. Pantai itu sangat luas. Sehingga banyaknya pengunjung tak membuat pantai itu terlihat penuh sesak. Masih banyak ruang tersisa. Masih lengang. Pantai itu bersih, bahkan lautnya masih terlihat kebiruan walaupun sudah mulai lenyap dikalahkan senja.  

Atmosfir di sana menyenangkan. Penuh dengan keceriaan. Sungguh menyenangkan melihat anak-anak kecil berlarian di pinggir pantai, bermain air, dan bermain dengan anjing peliharaannya. Banyak juga bule-bule yang masih saja berjemur, berusaha membuat kulit mereka menjadi gelap. Banyak juga yang hanya duduk memandangi langit yang akan berubah menjadi gelap.

Dari tepi, kuamati semua itu sambil menenggak bir kalengan yang kubeli. Kunikmati  saat-saat senja ditelan malam, saat-saat matahari terbenam. Kunikmati semua itu dengan perasaan senang di hati.

Langit yang sudah berubah menjadi gelap menandakan malam telah tiba. Kami segera meninggalkan pantai, menuju daerah di sekitar pantai dan berharap ada keramaian.

Suasana malam di Kata lebih sepi jika dibandingkan dengan Patong. Kurang meriah. Tak banyak keriaan seperti di Patong. Kurang menarik untuk dinikmati.

Kami terus menelusuri jalan-jalan di sekitar Kata, namun kami tidak menemukan sesuatu yang istimewa. Kami hanya iseng menjajal jajanan di pinggir jalan seperti pisang coklat dan kebab Turki.

Tak tahu tempat apalagi yang harus disinggahi, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke hostel, beristirahat lebih awal sambil menyusun rencana untuk esok hari.

Malam itu aku dan Risty sebenarnya belum punya rencana yang pasti kemana kami akan pergi esok hari. Bermodal fasilitas internet cuma-cuma yang diberikan oleh hostel, kami beusaha mencari tahu tempat apa yang menarik untuk dikunjungi.

Setelah cukup lama, Risty meuncul dengan sebuah ide menarik. Dia menemukan foto-foto wisata teman kantornya yang baru saja dari Phuket. Foto-foto itu memperlihatkan keindahan sebuah tanjung, Promthep Cape namanya. Setelah diselidiki, tanjung itu letaknya tidak jauh dari Kata, letaknya di ujung selatan. Akhirnya kami memutuskan, tujuan kami selanjutnya adalah Promthep Cape.

Pantai Kata




7. Ya Nui, Promthep Cape, Rawai & Karon

Aku bangun di pagi hari dengan keadaan segar. Tidurku yang nyenyak selama kurang lebih sembilan jam berhasil mengalahkan lelah. Kenyamanan kamar hostel sedikit banyak telah membantuku beristirahat dengan optimal.

Ini adalah hari terakhir petualangan kami di Phuket. Kami mengharapkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati. Kami berharap dapat menemukan suatu tempat yang indah yang akan selalu diingat dan tersimpan rapih di memori.

Setelah berkemas dan membereskan barang-barang kami, kami segera menuju lobi hostel. Kami berbincang dengan staf hostel yang sedang berjaga. “Do you know where promthep cape is?” Tanyaku pada petugas itu. “Oh it’s right here, it’s near. By motorcycle it only takes 20 minutes.” Jawabnya sambil menujuk titik pada sebuah peta.

“Is There any public transportation that can bring us there?” Tanyaku lagi. “Negative, you should rent a motorcycle” Staf hostel itu menggeleng. Setelah berdiskusi dengan Risty, akhirnya kami sepakat untuk menyewa skuter metik. “So do you want to use the motorcycle for full day or half day?” Pegawai itu menawarkan.

Kami memilih menyewa setengah hari karena sore harinya kami akan segera menuju ke bandara, mengejar penerbangan pulang ke Jakarta. Tarifnya 15 Baht saja, atau sekitar IDR 45.000. Kami juga langsung check-out, dan sekalian memesan minibus service untuk ke bandara. Setelah semua urusan administrasi selesai, kami segera pergi melanjutkan petualangan kami.

Staf hostel itu kemudian menyerahkan kunci skuter, dan menyuruh kami memilih helm yang tersedia di lemari. Dengan sedikit deg-degan aku memakai helmku, memasukan kuci dan menyalakan skuter itu. Sudah lama dan jarang-jarang aku mengendarai sepeda motor. Paling-paling hanya meminjam sepeda motor adikku dan iseng keliling komplek. Jadi aku cukup was-was, apalagi berkendara di negeri orang.

Semoga Tuhan menyertai perjalanan kami. Doaku dalam hati. Dengan hati-hati kuputar tuas gas skuter itu. Sambil membonceng Risty, kupacu skuter metik itu dengan hati-hati. Kami menuju Promthep Cape.

Pagi itu, jalan cukup sepi. Jalanan cukup lengang. Medannya cukup menantang. Banyak tanjakan dan turunan yang berliku. Namun pemandangan di sepanjang jalan sangat menghibur, apalagi ketika lautan mulai tertangkap oleh pandangan mata, membuat perjalanan mengendarai skuter itu sangat mengasyikan. Aku sangat menikmati momen itu. Sangat menyenangkan. Kunikmati setiap detik yang berlalu dengan senang hati. Tak peduli teriknya panas matahari.

Di tengah perjalanan, kami melihat sebuah tempat yang cukup ramai dikunjungi. Kata-Karon Viewpoint. Penasaran, kami memutuskan untuk singgah sebentar. Tempat itu adalah suatu titik di mana kita bisa melihat Pantai Kata dan Pantai Karon dari ketinggian. Mirip seperti di Phi-Phi View Point.

Kami melanjutkan perjalanan. Menuju ke arah selatan. Sekitar lima menit dari Kata-Karon Viewpoint, aku melihat sebuah plang penunjuk jalan. Di bagian paling atas tertulis tanda panah kanan, Mui Beach.

Melihat jalannya yang masih beralaskan tanah merah dan bergelombang, aku penasaran. Jangan-jangan sebuah pantai rahasia. Sebuah pantai yang belum terjamah. Spontan aku belokan skuter itu ke kanan. Mulai menelusuri jalan itu. Belum jauh kutelusuri jalan, aku melihat ke depan, medan jalan sepertinya sangat berat. Sebuah tanjakan curam, dengan jalanan tanah merah yang tak rata dan bergelombang siap menyambut kami.

Aku menepikan skuter sebentar dan berpikir apakah mungkin medan itu dapat dilalui. Aku ragu. Tak lama kemudian, kejadian yang tak disangka-sangka mengejutkan kami. Tanpa diduga, segerombolan anjing liar yang kira-kira berjumlah lebih dari sepuluh tiba-tiba muncul dari kejauhan. Mereka berlari dengan sangat kencang, ke arah kami. Wajah anjing-anjing itu terlihat beringas. Mereka seperti habis melihat makanan setelah tidak makan dua hari. Mereka semakin kencang berlari. Mereka semakin dekat.

Seketika aku panik. Dengan cepat kubelokan stang skuter ke arah kanan dan kutancap gas dengan kencang. Dengan susah payah kami berbalik arah. Aku nyaris kehilangan keseimbangan, akibatnya kami nyaris terjatuh. Setelah keseimbangan mulai terkendali, kutancap gas sekuat tenaga, berusaha keluar dari tempat itu secepat mungkin.

Kutengok ke arah belakang, ternyata anjing-anjing itu sudah berhenti berlari. Situasi aman terkendali. Hatiku mulai tenang, tapi nafasku masih tergopoh-gopoh setengah mati.

Pelan-pelan kulanjutkan perjalanan. Kupacu skuter pelan-pelan. Santai. Berusaha mengembalikan nafas menjadi teratur. Berusaha menenangkan jantung agar berdetak normal.

Setelah kejadian dikejar anjing, aku dan Risty tak bisa berhenti tertawa. Sulit untuk berhenti. Sepanjang perjalanan kami tertawa geli, teringat-ingat kejadian yang mirip adegan film-film Warkop DKI. Sangat menggelitik kami. Rasanya ingin bergulingan di lantai sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Kami beruntung, kejadian itu berakhir dengan bahagia, sehingga menghadirkan tawa. Aku tak bisa membayangkan jika akhirnya anjing-anjing berhasil menyergap kami. Mungkin akan menjadi kisah horor tragis yang mengundang tangis.

Kami melanjutkan perjalan menuju Promthep Cape dengan riang. Dengan penuh rasa senang. Kami melewati setiap tanjakan, turunan dan tikungan dengan penuh tawa.  Perjalanan yang menyenangkan.

Perjalanan membawa kami menemukan sebuah pantai, tepat di sebelah kanan kami. Pantai itu sepi, nyaris tak berpenghuni. Tanpa ragu, aku menepi, memarkir skuter dan segera memasuki pantai yang menurut plang yang tertancap di sana bernama Ya Nui.

Awalnya aku tak berharap banyak dengan pantai itu. Paling-paling hanya pantai biasa. Pikirku. Ternyata aku salah. Pantai itu ternyata luar biasa indah. Sederhana namun penuh pesona.

Pantainya tidak terlalu luas. Di bagian tengah terdapat karang besar yang membagi pantai menjadi dua sisi. Di depannya ada pulau kecil yang bentuknya seperti kepala brokoli. Pasirnya tidak putih, namun bersih. Warnanya krem, seperti warna alas bedak. Kalau diperhatikan dengan teliti warnanya sesekali menyerupai merah muda. Warna air lautnya indah. Biru pekat kehijauan. Jernih. Bebas dari kontaminasi segala jenis sampah. Dan yang paling menyenangkan, pantai itu sepi tak terjamah.

Pantai seperti inilah yang kucari. Pantai indah yang tersembunyi. Tak banyak diketahui. Serasa milik pribadi.

Duduk di pantai, memandangi luasnya lautan. Membiarkan penatku lenyap tertiup angin. Memanjakan telingaku dengan alunan merdu suara ombak yang datang tanpa henti.  Ditemani oleh seorang yang sangat kukasihi. Hidup ini indah. Aku kembali merasakan surga.

Pantai Ya Nui


“Nice beach eh?” Tiba-tiba seorang pria bule paruh baya datang menghampir kami dan menyapa ramah. “Yes it is beautiful. Heaven!” Jawabku sepakat. Selanjutnya kami terlibat perbincangan yang cukup menyenangkan dengan orang itu. Pria itu asalnya dari Perancis. Alain namanya.  Cukup gagah untuk orang paruh baya. Masih terlihat segar, meski rambutnya sudah penuh uban. “Ahh From Indonesia! Yayaya…” Alain mengangguk-anggukan kepala ketika mengetahui kami berasal dari Indonesia.

Alain kemudian bercerita, setelah pensiun, dia pergi ke Phuket. Seketika Alain jatuh cinta dengan Phuket dan kemudian memutuskan untuk membeli rumah di sana. Bahkan akhirnya dia menikahi wanita setempat.

Sudah lebih dari dua tahun ia tinggal di Phuket. Tepatnya di bagian selatan. Menurutnya Phuket selatan sangat ideal untuk menikmati hari tuanya. Tenang. Damai. Jauh dari keramaian. Jauh dari hingar bingar. Tidak seperti daerah Patong.

“When I was in France, I’m working as a Finance Consultant. I’m handling so many football players. If you know big names in football like Mario Yepes or Jeremy Toulalan, they were my clients.” Dengan semangat Alain bercerita.

Tak menyangka, di Pantai Ya Nui yang sepi, aku bertemu dengan orang yang dulunya pernah berurusan dengan pemain sepakbola top. Bagiku sebagai orang yang menggilai sepakbola hal itu sangat menyenangkan.

“Hey Alain, what is Europe looks like? Which part of Europe has the most beautiful place?” Tanyaku penasaran kepada Alain. “France of course! hahaha” Alain tertawa. “You should go to Paris. It’s beautiful. Italy also had great city. Netherlands, Norway aren’t bad either.” Tambahnya.

Alain kemudian melanjutkan ceritanya. Ia bercerita tentang pengalamannya menjelajah Eropa. Menurutnya sekarang lebih mudah keliling Eropa, apalagi dengan banyaknya pesawat low cost carrier dan kereta api. Semua itu membuat Eropa mudah untuk dijelajahi. Ia bercerita tentang indahnya kota-kota di Perancis, Italia dan yang lainnya. Walaupun tak banyak daerah di Eropa yang ia ceritakan, tapi itu cukup membuat kami teracuni dan ingin pergi ke sana.

Alain belum bosan bercerita. Perbincangan terus berlanjut. “I rarely see Indonesian people in Europe, or even here in Asia. Are you Indonesian do not like traveling?” Alain sedikit bingung. Kami menjelaskan kepadanya, orang Indonesia itu bukannya tidak suka jalan-jalan. Masalah yang terbesar adalah jatah cuti. Di Indonesia rata-rata cuti yang boleh diambil setahun adalah dua belas hari. “What? Only twelve days? That sucks” Alain terheran-heran. Di Eropa atauapun di Amerika cuti setahun bisa sampai tiga puluh hari atau bahkan empat puluh hari setahun. Banyaknya jumlah jatah cuti mereka selalu bikin aku iri.

“Enjoy your day! Have great one! Nice talking to you” Setelah berbincang cukup lama, Alain akhirnya pamit. Selalu menyenangkan berbicara dengan orang asing. Ada saja cerita yang bisa didapat. Ada saja pengalaman baru yang bisa diperoleh.

Hari sudah semakin siang. Kami harus melanjutkan perjalanan. Berjarak sekitar sepuluh menit dari Ya Nui, kami akhirnya tiba di Promthep Cape.

Promthep Cape adalah sebuah tanjung. Daratan yang menjorok ke laut dan dikelilingi oleh laut diketiga sisinya. Letaknya di atas bukit. Dari atas kami bisa melihat lautan lepas yang luas. Promthep dipenuhi oleh pohon-pohon palem yang tumbuh menjulang tinggi. Angin di sana cukup kencang. Di sana juga sangat panas. Matahari terasa sangat dekat di atas kepala. Sangat efektif untuk menggelapkan kulit.

Promthep Cape adalah sebuah objek wisata yang cukup komersil, meski saat itu kami tak harus membayar masuk. Di sana kami melihat ada sebuah museum, entah apa isinya karena kami kurang tertarik masuk ke sana. Di sana juga terdapat banyak patung gajah yang berwarna warni.

Menurut plang besar yang terdapat pada pintu masuk objek wisata ini, Promthep Cape paling pas dikunjungi pada saat menjelang matahari terbenam. Konon pemandangan sunset di sana adalah salah satu yang terbaik di Thailand. 

Promthep Cape


Karena panas yang makin menggila, dan di sana tak ada tempat bersantai yang nyaman, kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Kami terus berjalan ke arah selatan.

Tak jauh dari sana, kami menemukan sebuah pantai lagi. Pantainya cukup teduh, ditumbuhi oleh pohon besar berdaun hijau. Kuparkir skuterku dan kemudian duduk sejenak di pantai itu beristirahat.

Pantai itu bernama Rawai. Pantainya tidak landai. Jaraknya dengan jalan raya sangat dekat. Pantainya cukup sepi, walupun di sekitar parkiran ada orang berjualan. Pantai itu cukup cantik. Warna biru lautnya sangat menyejukan mata. Warna pasirnya mirip dengan di Ya Nui, krem kemerahmudaan. Di sana banyak perahu yang menepi. Dari perahu kayu, perahu motor hingga speedboat ada di sana. Di sebelah kiri terlihat sebuah dermaga yang sangat panjang. Kombinasi semuanya sangat sedap dipandang mata. Satu lagi kutemukan pantai yang indah.

Kemudian kami meninggalkan pantai dan menuju dermaga. Dermaga itu ramai dikunjungi. Sepertinya memang berfungsi sebagai objek wisata. Dermaga itu cukup panjang, panjangnya hingga ke tengah lautan hampir menggapai pulau kecil yang ada di depannya. 

Pantai Rawai


Merasa sudah puas dan hari semakin siang, kami memutuskan untuk meninggalkan Rawai. Kami. menuju daerah Kata-Karon. Karena pantai Kata sudah dikunjungi, maka aku dan Risty sepakat untuk makan siang di daerah Karon.

Beratapkan langit cerah yang kaya akan sinar matahari, aku memacu skuterku dengan santai, sambil menikmati indahnya hari.

Naik skuter keliling Phuket bagian selatan adalah salah satu kegiatan yang paling aku nikmati selama menjelajah Phuket. Sangat mengasyikan. Kondisi jalannya, pemandangannya, cuacanya, semuanya sempurna untuk berkendara.

Tiga puluh menit kemudian kami tiba di Karon. Sebelum berkunjung ke pantai, kami singgah di sebuah restoran untuk makan siang. Lagi-lagi memesan makanan barat. Sebuah burger dan fish and chips menjadi menu pilihan kami. Setelah nafsu makan kami terpenuhi, kami segera menyebrang untuk menengok pantai Karon.

Pantai Karon adalah pantai komersil yang cukup tenar. Pantai ini selalu ramai pengunjung. Walau tidak sepopuler Patong, namun pantai ini jauh lebih indah. Lautnya lebih biru, lebih bersih. Pantainya lebih landai. Pemandangan sekitarnya juga jauh lebih menyegarkan ketimbang Patong. Untuk ukuran pantai komersil, menurutku Pantai Karon adalah salah satu yang terbaik.

Karena waktu sudah tidak memungkinkan lagi, kami harus menyudahi kunjungan kami. Pantai Karon adalah tempat terakhir yang kami kunjungi selama di Phuket. Selanjutnya kami kembali ke hostel, mengembalikan skuter, mengambil tas kami dan menunggu jemputan menuju ke bandara. Tak lama kemudian sebuah minibus menjemput kami dan mengantarkan kami ke bandara, sekaligus mengakhiri petualangan kami di Phuket selama empat hari.


8. Kesan

Meriahnya Patong dan damainya Phi-Phi berhasil membuat stress terobati. Indahnya Maya Bay dan sensasi bermalam di sana akan selalu terekam di memori. Kecantikan pantai selatan Phuket, dari Ya Nui hingga Rawai sangat mengesankan dan tak akan terlupakan. Dari Patong hingga Karon kujelajahi. Keindahan Phuket akan selalu berkesan di hati.

Kini aku tahu mengapa Phuket banyak dikunjungi. Kini aku tahu mengapa Phuket banyak diminati. Kini aku tahu, ada banyak surga di selatan Thailand, di sebuah provinsi bernama Phuket.


Salam jalan-jalan,
Rifel